MEMORI : 06 JUNI 2007:
- Ini bukan kisah baru. Musibah yang menimpaku ini –yang terjadi 16 tahun silam—pernah kutulis di aplikasi blogspot. Kini kutulis ulang di sini, untuk pengingat bagi siapa pun –terutama keluarga dan teman-teman dekatku—dalam kondisi apa pun jangan lupa tetap bersyukur.-
Hari itu, RABU, pukul –sekitar— dua’an siang, dalam perjalanan liputan ke Club Deluxe.
Kecepatan kendaraan [Honda Kirana] seperti biasa. Standar, 50-60an km/jam. Tidak terlalu kencang karena arus lalu lintas di Jl Urip Sumoharjo saat itu cukup padat. Seperti biasanya.
Tepat di depan rusun, mendadak terlihat sepeda motor di depanku –aku masih cukup ingat dinaiki seorang pria—mendadak terjatuh. Untuk menghindari tabrakan, otomatis aku menginjak rem secepatnya.
“Alhamdulillah. beruntung aku masih bisa menghentikan kendaraan sehingga tidak sampai menabrak sepeda motor di depanku.” Itulah yang ada di benakku ketika aku merasakan laju sepeda motorku berhenti sekitar dua meter di belakang sepeda motor yang jatuh gara-gara pengendaranya kena ‘bola liar’ dari arah rusun Urip Sumoharjo.
Keberuntungan yang ternyata tidak 100 persen sempurna. Pasalnya, sepersekian detik kemudian –sebagai efek kendaraan yang berhenti mendadak—tubuhku melenting. Badanku melesat dari motor dengan gaya yang tidak pernah aku ingat seperti apa.
Yang kutahu, saat berikutnya tubuhku sudah terkapar di atas trotoar sambil bibir terucap kata,”Ya Allah!” berulang-ulang. Ketika aku membuka mata, aku jadi perhatian banyak orang. Belasan orang mengerubuti, mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada diriku.
“Oo, jik orip! Selamet!” seru seseorang.
“Istighfar, Nak! Ayo Istighfar!” ujar seorang pria tengah baya.
Petaka di Rusun Urip Sumoharjo
Seseorang yang lain berusaha melepas sepatu dari kakiku. Dalam ketidakberdayaanku, upaya –yang aku anggap sebagai pertolongan—itu aku biarkan. Helm yang semula lengket di kepala entah sudah melesat kemana. Namun, tas punggung masih menempel dan sekaligus sebagai tumpuan punggung saat aku jatuh.