"Halo, apa kabar?" begitu sapa seorang teman saat bertemu di sebuah pusat perbelanjaan di pusat kota Surabaya, Senin (18/6/2018).
Setelah sederet kalimat basa basi seperti biasa yang dilakukan di satu pertemuan tak sengaja, teman ini lalu bertanya,"Bagaimana rasanya jadi orang bebas? Apa yang berubah setelah pensiun?"
Gelontoran pertanyaan itu tak langsung saya jawab. Saya diam sesaat sambil mengurai senyum.
Jujur saya agak bingung memberi jawaban. Karena untuk sesaat saya juga sedang bertanya pada diri sendiri,"Apa yang berbeda?"
"Saya ini kan bukan PNS (pegawai negeri sipil) atau pekerja kantoran yang terikat jam kerja. Jam sekian harus di kantor, dan jam sekian baru boleh meninggalkan kantor," ucapku mencoba memberi ilustrasi.
Artinya,"Ya nggak ada perubahan yang aku rasakan. Setiap hari, bahkan sebelum pensiun pun aku merasa jadi orang bebas," tandasku.
Rutinitas yang tak terikat dinding gedung inilah yang membuat aku memilih pekerjaan ini, sebagai jurnalis sekitar 29 tahun silam. Aku harus merelakan SK PNS yang sudah aku pegang sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah di Kabupaten Sampang, Madura pada tahun 1989 silam.
"Aku perlu aktivitas yang dinamis dan tidak monoton, bertemu orang yang sama setiap hari," begitu tekadku waktu itu.
"Tapi kan enak sekarang nggak dikejar-kejar deadline seperti dulu," begitu kejar temanku menyodorkan opininya.
"Hidup itu tetap harus punya deadline. Kalau tak punya deadline, kita jadi nggak fokus pada tujuan," jawabku memberi argumen. Â
Aku lalu memapar keseharianku yang sekarang bisa lebih fokus mendampingi istri menjalankan usaha kuliner. Karena omset belum besar, memang tak setiap hari belanja. Tetapi, setiap hari harus memantau bahan apa saja yang sudah menipis dan perlu segera dipasok agar tidak kehabisan saat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Â