Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ironi Fungsi dan Pemanfaatan Hutan Lindung

10 Februari 2021   14:59 Diperbarui: 10 Februari 2021   15:06 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kedua, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang mengancam keberadaan dan luas hutan lindung. PP no. 14/2015 tentang pedoman perubahan peruntukan fungsi kawasan hutan yang disempurnakan dalam  RPP peraturan pelaksanaan UU no. 11/2020 Cipta kerja bidang kehutanan pasal 37b yang memungkinkan dan membolehkan perubahan fungsi antar fungsi pokok kawasan hutan antara  kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan hutan produksi menyebabkan keberadaan dan luas hutan lindung yang ada semakin kecil diantara fungsi kawasan hutan yang lain. Indikasi kearah sana nampak nyata dengan dihapuskannya fungsi kawasan hutan produksi terbatas dalam RPP ini. Sebagaimana diketahui dalam PP no. 44/2004 tentang perencanaan kehutanan pasal 24 ayat (1c), hutan produksi terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi yang selanjutnya dalam RPP penyempurnaan tersebut dirubah menjadi hutan produksi terdiri dari hutan tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Untuk kepentingan pembangunan seperti kegiatan : a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d) pengadaan tanah obyek reforma agrarian (TORA), pelepasan kawasan hutan hutan selain dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dijuga dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap (RPP bab III perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan pasal 19 ayat (2)). Bilamana hutan produksi yang dapat dikonversi maupun hutan produksi tetap suatu saat nanti habis kawasannya bukan tidak mungkin pasal 37b yang memungkinkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi akan digunakan.

Ketiga, IPPKH yang tidak terkendali. Izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) merupakan modus yang paling mudah untuk memanfaatkan hutan untuk kepentingan diluar kehutanan (non kehutanan). Adalah peraturan menteri (Permen) LHK no. P.27/2018 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan yang membolehkan/mengizinkan penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dalam kawasan hutan lindung. Dalam regulasi menteri tersebut perlakukan penggunaan kawasan hutan untuk IPPKH untuk hutan produksi maupun hutan lindung tidak jauh berbeda meski fungsi antara hutan lindung dan hutan produksi sangat berbeda. Sebagai contoh kuota IPPKH untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara pada kawasan hutan produksi yang dibebani izin pemanfaatan hutan dapat dipertimbangkan yaitu 10% (sepuluh perseratus) dari luas efektif setiap izin pemanfaatan hutan sama dengan kuota IPPKH yang dapat dipertimbangkan adalah 10% (sepuluh perseratus) dari luas kelompok hutan lindung yang bersangkutan. Perubahan bentang alam hutan lindung yang dimanfaatkan untuk IPPKH ini akan merubah tutupan hutan (forest coverage) yang pada gilirannya akan menurunkan daya dukung kawasan hutan lindung sebagai fungsi pengendali keseimbangan hidroorologis kawasan didaerah bawahnya (hilir). Kasus banjir di provinsi Kalsel salah satunya penyebabnya adalah banyaknya izin IPPKH untuk pertambangan batubara dan perkebunan.

Keempat, konsep food estate dihutan lindung. Adalah KLHK yang menerbitkan peraturan menteri no. P.24/2020 yang membolehkan kawasan food estate dalam hutan lindung. Dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pelaksanaan UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan paragraf 2 (kegiatan usaha pemanfaatan kawasan  pada hutan lindung) pasal 24 ayat (1) kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung antara lain , meliputi: wana mina (silvofishery),  wana ternak (silvopastura), dan  tanam wana tani (agroforestry) dizinkan/diperbolehkan untuk kegiatan food estate, namun harus pemanfaatan kawasan hutan lindung untuk food estate harus memenuhi persyaratan dan ketentuan antara lain adalah : a) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; b) pengolahan tanah terbatas; c) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; d) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan e) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. Sementara dalam peraturan menteri tentang pembangunan food estate terintegrasi karena mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Ini disertai intervensi teknologi (benih, pemumpukan, tata air, mekanisasi, pemasaran dan lain-lain) dengan pola kerja hutan sosial. Peraturan menteri ini tidak sinkron dan sejalan dengan RPP, karena intervensi teknologi dengan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat tidak diperbolehkan/diizinkan. Pengolahan tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas.

Intervensi teknologi dengan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat tidak diperbolehkan/diizinkan. Pengolahan tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas.

Kelima, kegiatan perhutanan sosial dalam hutan lindung.  Meskipun dalam UU Cipta Kerja no. 11/2020 dalam pasal 29A kegiatan perhutanan sosial diizinkan/dibolehkan dalam hutan lindung, namun dalam RPP bab VI  tentang perhutanan sosial pasal 11 ayat (4) kegiatan perhutanan sosial pada hutan lindung hanya dapat diberikan pada kegiatan hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan desa (HD). Ketentuan lebih lanjut mengenai hutan desa dan hutan kemasyarakatan diatur oleh Peraturan Menteri (pasal 26 dan pasal 33). Sementara itu, ketentuan yang digunakan dalam kegiatan perhutanan sosial didasarkan pada peraturan menteri LHK no. P.83/2016 yang dalam beberapa hal (pasal maupun ayat) tidak sinkron dengan RPP sebagai regulasi yang menaungi diatasnya. Dalam hal ini apakah Permen LHK P.83/2016  masih relevan dan berlaku sekarang ?.

Benar juga, dugaan  beberapa kalangan, bahwa kawasan hutan lindung merupakan wilayah abu-abu (grey area), yang dapat dicadangkan untuk kegiatan apa saja (termasuk non kehutanan)  meski dengan ketentuan/ persyaratan lingkungan tertentu yang ketat dan hanya sebatas sebagai kedok saja untuk persyaratan administrtif formal diatas kertas. Sebagai sebuah ironi, Quo Vadis hutan lindung?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun