Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ironi Fungsi dan Pemanfaatan Hutan Lindung

10 Februari 2021   14:59 Diperbarui: 10 Februari 2021   15:06 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

IRONI FUNGSI DAN PEMANFAATAN HUTAN LINDUNG

Seringkali kita dikacaukan istilah kawasan lindung indentik dengan hutan lindung padahal tidak demikian. Dalam undang-undang (UU) no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, secara tersurat tidak diketemukan adanya kawasan lindung, yang ada adalah hutan lindung (pasal 6 ayat (1)). Demikian halnya dalam undang-undang no.5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, hanya ditentukan istilah perlindungan sistem penyangga kehidupan (pasal 5).

Hutan lindung ditetapkan berdasarkan kriteria mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen); atau ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut atau dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih. Data tahun 2017, luas hutan lindung di Indonesia sebesar 29,6 juta ha (15,7 %) dari jumlah total  125,2 juta ha. Salah satu fungsi kawasan hutan yang terabaikan adalah hutan lindung. Kenapa ? Karena hutan lindung tidak mempunyai turunan sebagaimana hutan konservasi dan hutan produksi. Dalam undang-undang 41/1999 tidak ditemukan arti dan penjelasannya. PP no. 44/2004 tentang perencanaan kehutananpun tidak ditemukan arti dan pengertian hutan lindung, hanya disebutkan kriteria penetapan hutan lindung.

Hutan lindung nampaknya kurang menarik dan seksi untuk dibahas karena nilai ekonomisnya lebih kecil dibandingkan dengan  nilai ekologisnya. Oleh karena itu, hutan lindung dibanyak daerah kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah setempat (pemda provinsi/kabupaten/kota) apalagi pemerintah pusat. Terdapat suatu kecenderungan dari tahun ketahun, hutan lindung mengalami degradasi dan deforestasi yang masif dan cepat. Data terakhir tahun 2018, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta ha, yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 ha, hutan lindung 2.379.371 ha, hutan produksi 5.109.936 ha, kawasan lindung pada APL (Areal Penggunaan Lain) 2.234.657 ha dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 ha. Meskipun kerusakan hutan lindung sebarannya nomor dua setelah hutan produksi, namun dampaknya ekologisnya terhadap lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kerusakan hutan produksi.

Contoh kasus misalnya banjir atau banjir bandang yang terjadi baru-baru ini yang terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, seperti di Kalsel dan NAD dan sebagainya hampir dipastikan hutan lindungnya atau kawasan lindungnya yang berada dihulu DAS wilayah tersebut terganggu lingkungannya.

Fungsi dan Pemanfaatan Hutan Lindung

Dalam undang-undang 26 tahun 2007, tentang penataan ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumberdaya buatan (pasal 1). Terdapat 5 (lima) kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung, 3 (tiga) kawasan diantara masih terkait dengan kawasan hutan negara. Dapat dipastikan bahwa hutan lindung pasti masuk dalam kawasan lindung, tetapi kawasan lindung tidak berarti harus hutan lindung. Kawasan lindung (selain kawasan bergambut dan kawasan resapan air) yang memberikan perlindungan terhadap kawasan dibawahnya adalah kawasan hutan lindung. Perlindungan yang dimaksud adalah menjaga keseimbangan (equilibrium) fungsi hidroorologi antara daerah hulu dan hilir dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS) utama.

Sedangkan menurut UU no. 41/1999 pasal 26 ayat (1) : pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:  a) budidaya jamur,  b) penangkaran satwa, dan  c) budidaya tanaman obat dan tanaman hias. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:  a) pemanfaatan untuk wisata alam,  b) pemanfaatan air, dan  c) pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.  Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:  a) mengambil rotan,  b) mengambil madu, dan  c) mengambil buah. Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Disharmoni Regulasi Dibawah UU

Seharusnya regulasi yang dibuat dibawah UU, seperti peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK),  tentang fungsi dan pemanfaatan hutan lindung harus patuh dan tidak boleh menyimpang dari UU no. 41/1999 yang disempurnakan dengan UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Faktanya banyak regulasi dibawah UU yang tidak sinkron (disharmoni) dalam pelaksanaannya. Beberapa regulasi yang tidak sinkron tersebut diantara adalah :

Pertama, dualisme otorisasi.  Undang undang no.41 tahun 1999 pasal 6 ayat (2) mengamanatkan bahwa pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai a) hutan konservasi b) hutan lindung, dan c) hutan produksi. Pemerintah dalam pengelolaan fungsi kawasan hutan ini dapat membagi dan menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah daerah sebagaimana pengelolaan hutan lindung. Menurut PP no. 62 tahun 1998, tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dibidang kehutanan kepada daerah, pasal 5 menyatakan Kepala Daerah Tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang antara lain tentang pengelolaan hutan lindung. Urusan pengelolaan hutan lindung sebagaimana dimaksud mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi/ reforestasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Dengan terbitnya undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah urusan pengelolaan hutan lindung ditarik oleh pemerintah pusat dan diserahkan kepada pemerintah provinsi sebagaimana hal dengan pengelolaan taman hutan raya (Tahura). Disatu sisi pengelolaan hutan lindung yang bersifat pengawasan, perlindungan dan pemulihan hutan lindung diserahkan kedaerah, sementara itu urusan perizinan usaha pemanfaatan kawasan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu masih dikendalikan oleh pemerintah pusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun