Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tahu Diri

24 Agustus 2020   11:21 Diperbarui: 24 Agustus 2020   11:29 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

TAHU DIRI

Kata-kata atau bahasa ini sangat tepat disematkan pada orang orang yang dengan mata telanjang dan kasat mata mempertontonkan dan mendemostrasikan perilakunya yang kurang bijak didepan umum atau diruang publik, tanpa merasa berdosa apalagi bersalah. Kasus percekcokan Mumtaz Rais (anak Amin Rais)  dan Nawawi Pomolango (wakil ketua KPK) didalam pesawat Garuda yang lagi transit mengisi bahan bakar di Bandara Sultan Hasanudin Makassar, menjadi contoh yang sangat tidak elok. Meski belakangan anak Amin Rais telah meminta maaf, dan kasus dianggap selesai.

Sejak reformasi digulirkan tahun 1998, sebagai antitese dari orde baru yang dianggap otoriterian- maka sejak itu pula demokarasi dan kebebasan dibuka seluas luasnya. Tata nilai berinteraksi sosial juga ikut ikutan  berubah. Kebebasan berpendapat benar benar dijamin oleh undang undang tanpa ada "reserve" apa apa. 

Orang bebas bicara apa saja dan berbuat apa saja asal tidak melanggar peraturan perundangan dan ranah hukum. Sayangnya setelah 21 tahun masuk dalam alam orde reformasi- kalau boleh disebut demikian- demokrasi yang digembar gemborkan terbesar setelah negara Paman Sam banyak yang kebablasan. 

Batas antara kebebasan dan batas melanggar peraturan perundangan apalagi hukum menjadi tipis. Ditambah lagi dengan teknologi media sosial yang berkembang dengan cepat dan informasi yang cepat dan mudah diakses, menyebabkan masyarakat umum sulit untuk mendapatkan info penting yang valid dan tidak karena banyak info bohong (hoaks) yang beredar . Masyarakat harus mampu untuk menyaring sendiri antara info yang valid dan yang bersifat hoaks.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menganut budaya " paternalistik" dari dulu bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Budaya panutan (keteladanan) ini sangat dijunjung tinggi. Yang merasa lebih tua harus memberi contoh yang baik kepada yang lebih muda. Sebaliknya, yang muda harus santun dan hormat kepada yang lebih tua. 

Yang merasa jadi pemimpin tanpa memandang usia (pejabat negara, pemertintah, agama, perusahaan, masyarakat, partai dan seterusnya), perilakunya  harus menjadi tauladan bagi yang dipimpinnya. Modal sosial masyarakat Indonesia, yang sangat baik ini mestinya harus dijaga dan tidak tergerus oleh kemajuan zaman yang bersifat hedonis, sifat yang  suka mengejar kesenangan pribadi dan kenikmatan materi dalam hidupnya.

Orang orang boleh merasa hebat, pintar, terhormat karena menjadi pemimpin itu tadi, namun dalam pergaulan sosial dengan masyarakat lain, perlu memperhatikan budaya dan tata karma Indonesia. Hedonis boleh boleh saja, karena tuntutan zaman, namun harus tahu batasnya. Kata anak saya dan kawan kawan kosnya yang tahun 2005 dulu kuliah di UGM Jogya, mereka mengatakan gitu ya gitu, tapi harus tahu dirilah.

PRAMONO DWI SUSETYO

Kompasiana, 24  Agustus 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun