Untunglah, waktu itu anggota ABRi masih boleh dikaryakan keinstansi pemerintah lainnya khususnya yang membutuhkan keahliannya. Bapak diajak mantan atasannya -yang juga sudah pensiun- sewaktu bertugas di Magelang untuk dikaryakan di Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) Cepu, suatu lembaga pendidikan kedinasan minyak dan gas dibawah nauangan PT. Pertamina, yang waktu itu Dirutnya adalah Dr. Ibnu Sutowo.
Kota Cepu, meskipun kota kecil kecamatan dan bagian dari kabupaten Blora, ternyata mempunyai potensi sumberdaya alam yang cukup melimpah. Disamping, sumberdaya alam minyak bumi, ternyata Cepu juga mempunyai potensi hutan tanaman jati yang sangat subur yang sama sama merupakan warisan Belanda yang masih dapat dimanfaatkan hingga saat ini. Ternyata kota Cepu adalah kota minyak bumi yang dikelilingi oleh hutan jati sehingga kotanya lebih hidup dibanding dengan ibukota kabupatennya di kota Blora.
Saya sekolah di Cepu dari mulai SD sampai lulus SMAN Cepu mulai tahun 1967 sampai 1976. Oleh karena itu, paham betul ekosistem hutan jati dan seluk beluk pengelolaan hutan jati yang dikelola oleh Perum Perhutani. Teman teman sekolahpun, banyak yang berasal dari keluarga Perhutani. Ada yang ayahnya mandor, mantri, kakaknya sinder, bahkan ada yang ayahnya wakil administratur atau biasa disebut ajun administratur. Istilah istilah TPK (Tempat Penimbunan Kayu), blandong, sanggem, tumpangsari, petak jati nomor sekian, kelas umur 3, rencek ,lori dan rel untuk pengangkut kayu sudah terbiasa dan sering didengar dan dilihat.
Ekosistem hutan jati juga mewarnai kehidupan sehari hari masyarakat Cepu. Betapa tidak, mulai dari rumah, memasak, membungkus makanan sampai makanannyapun terkait dengan pohon jati. Sebut saja, untuk memasak masyarakat desa maupun dikota Cepu banyak mengadalkan arang atau kayu bakar dari kayu jati.Â
Setiap pagi orang berbondong bondong menjual arang, kayu bakar, daun jati untuk pembungkus (sebelum ada kertas maupun plastik) kepasar. Yang lebih unik lagi pada saat memasuki musim kemarau tiba , banyak ulat (bahasa lokal disebut entung jati) daun jati yang dikumpulkan masyarakat sekitar hutan untuk dijual dipasar sebagai tambahan asupan gizi. Rumah rumah pendudukpun rata rata dibangun dari kayu jati. Bangunan rumah berbahan tembok semen waktu itu masih jarang karena dianggap mahal, kalau memang ada paling paling adalah bangunan instansi pemerintah.
Sampai kuliahpun, saya masih bersinggungan dengan hutan jati, karena sewaktu tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB, belajar silvikultur dan praktek hutan jati di Jawa Tengah selama dua bulan. Sayang, sewaktu lulus kuliah, saya tidak bekerja di Perhutani namun bekerja di Departemen Pertanian/Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK), namun meskipun demikian sewaktu masih bekerja di KLHK pusat, saya ditunjuk oleh Dirut Perum Perhutani sebagai salah satu anggota tim penilai lomba kinerja KKPH, KBKPH, KRPH, Mandor dilingkup Perhutani Unit Jateng yang mengelola hutan jati berturut turut selama 3 (tiga) tahun sehingga mengetahui persis seluk beluk tentang pengelolaan jati ditingkat KPH sampai kebawah. Saya sempat menilai di KPH Randublatung, yang tidak jauh dari KPH Cepu.Â
Kesimpulan saya, meskipun zaman sudah berubah, nampaknya pengelolaan hutan jati masih belum berubah sebagaimana tahun 80'an yang lalu. Apakah pengelolaan hutan jati yang diwariskan Belanda telah dianggap sudah baik, atau saya yang tidak update mengenai perkembangannya. Yang jelas hutan jati tetap gugur pada musim kemarau dan telah berdaun pada musim hujan sebagaimana lagu Bimbo tersebut.
PRAMONO DWI SUSETYO
Kompasiana, 29 Juli 2020
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H