KAWASAN Â EKOSISTEM ESENSIAL, Â APA ITU ?
Kawasan Ekosistem Esensial, secara tersirat dalam undang undang no. 5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya masuk dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan secara tersurat dalam peraturan pemerintah (PP) no. 28/2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) disebut dalam pasal 24 ayat (1). Dalam penjelasannya yang dimaksud "kawasan ekosistem essensial" adalah ekosistem karst, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau dan wilayah pasang surut yang tidak lebih dari 6 meter), mangrove dan gambut yang berada di luar KSA dan KPA.
Dalam struktur organisasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (Ditjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terdapat salah satu direktoratnya bernama Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial yang bertugas diantaranya adalah perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pemolaan dan perpetaan kawasan ekosistem esensial, konservasi mangrove, konservasi lahan basah, konservasi kawasan karst, pengelolaan taman kehati, koridor hidupan liar, serta areal bernilai konservasi tinggi.
Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) dikenal dengan beberapa tipe yaitu 1) Tipe ekologis penting atau nilai konservasi tinggi didalamnya termasuk kawasan mangrove, karst, gambut dan perairan darat/lahan basah (danau, sungai, rawa, payau, dan wilayah pasang surut yang tidak lebih dari 6 meter), Â 2) Tipe landscape didalamnya termasuk habitat endemik dan lintasan satwa liar dan, 3) Tipe pencadangan sumberdaya alam didalamnya termasuk taman keanekaragaman hayati (Kehati).
Berdasarkan informasi dari KLHK di tahun 2020 capaian perlindungan terrestrial direncanakan mencapai 17% dari wilayah daratan dan kawasan perairan darat (32,48 juta ha) dan 10 % dari kawasan pesisir dan laut. Capaian kawasan perlindungan terestrial saat ini adalah 22,48 juta Ha. Â
Masih terdapat kekurangan 10 juta hektar diharapkan adanya dukungan peran dari optimalisasi pengelolaan KEE, Koridor satwa liar, dan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (ABKT).Â
Untuk itu perlu pelestarian dan pengelolaan secara efektif dan selaras kawasan yang penting bagi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan, dengan memperhatikan keterwakilan ekologis. Mungkinkah. Â Sementara untuk perlindungan KSA dan KPA saja Ditjen KSDAE KLHK masih kedodoran.Â
Masalahnya adalah klasik. Jumlah jagawana diunit pelaksana teknis daerah seperti Balai Besar/Balai Taman Nasional (BBTN/BTN) dan Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA/BKSDA) sangat terbatas, tidak sebanding dengan  kawasan yang dijaga/diawasi yang begitu luas. Contoh nyata adalah kisaran luas taman nasional antara 100 ribu -- hingga satu juta ha. Sementara jumlah jagawana rata rata kisaran hanya  antara 100 -250 orang.
PRAMONO DWI SUSETYO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H