Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hutan Alam Indonesia

10 Juni 2020   13:25 Diperbarui: 10 Juni 2020   13:19 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

HUTAN  ALAM  INDONESIA

Para rimbawan telah memperhitungkan sebelumnya bahwa Indonesia akan kehilangan luas hutan alam primer sangat besar dengan sistem pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini. Prediksi ini ternyata benar adanya. Indonesia menempati urutan  nomor tiga kehilangan hutan primer didunia setelah negara Brasil dan Kongo (Kompas, 3 Juni 2020).

Dengan berbekal undang undang no.5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok pokok kehutanan dan undang undang no. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA), dimulailah pembukaan hutan alam primer dalam bentuk izin hak pengusahaan hutan ( dikenal dengan HPH) baik oleh PMA maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Luas hutan alam Indonesia pada saat itu, 122 juta ha, lebih dari 50 % adalah hutan produksi dimanfaatkan betul demi dan atas pembangunan Indonesia. Hampir lebih tiga dekade pemerintahan orde baru, sektor kehutanan mampu menyumbang devisa nomor dua setelah minyak bumi.

Potensi hutan alam yang melimpah di provinsi surplus kayu alam seperti Riau, Jambi (Sumatera) dan Kaltim dan Kalteng (Kalimantan) mampu menyedot investor yang menanamkan modalnya di HPH rata rata 50 -- 100 unit HPH. Puncaknya adalah pada tahun 2000, jumlah HPH meningkat sekitar 600 unit dengan areal konsesi hutan lebih dari 64 juta ha.

Sayangnya sistem dan mekanisme yang dibangun dengan TPTI (tebang pilih tanam Indonesia) nya,  belum mendukung dan menjamin proses pengawasan kelestarian hutannya dilapangan. Dana Jaminan Reboisasi (DJR) yang tadinya diharapkan sebagai dana jaminan yang akan dikembalikan apabila HPH mampu melakukan rehabilitasi pada areal bekas tebangannya tidak berjalan sesuai rencana. Akhirnya DJR berubah menjadi  Dana Reboisasi (DR) sebagai dana rehabilitasi yang akan dilakukan oleh pemerintah. Tahun 2019, HPH yang tersisa tinggal 255 unit dengan luas konsesi 18,7 juta ha. 345 unit HPH lainnya telah habis kontraknya ( masa kontrak 35 tahun), atau diputus kontrak oleh pemerintah ditengah jalan karena telah melanggar ketentuan yang ada.

Masalahnya, bekas areal konsesi yang ditinggalkan oleh 345 unit HPH seluas  lebih dari 45,3 juta ha merupakan daerah bebas dan terbuka (open akses) yang mudah dimasuki oleh perambah hutan. Memang, sebagian bekas HPH ini digunakan juga untuk izin hutan tanaman industri (HTI) yang jumlahnya 293 unit dengan luas areal 11,3 juta ha. Luas areal HTI ini, tidak seberapa dibanding dengan luas areal hutan yang open akses.

Inilah salah satu sumber areal deforestasi Indonesia yang tidak ada habis habisnya. Konsesi HPH merupakan penyumbang terbesar penyebab terjadinya deforestasi hutan alam.

Moratorium hutan alam permanen yang ditetapkan tahun lalu oleh pemerintah sangat membantu dalam menahan laju hilangnya tutupan hutan alam di Indonesia, namun upaya dan kerja keras pemerintah untuk merehabilitasi hutan alam, belum nampak hasilnya dibandingkan dengan laju kerusakannya setiap tahun.

Quo vadis hutan alam Indonesia.

PRAMONO DWI SUSETYO

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun