Salah satu penyebab terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berkepanjangan- disamping musim kemarau yang ekstrem-adalah luasnya  perkebunan sawit yang ditanam pada lahan gambut yang mudah terbakar. Setidaknya terdapat karhutla yang terpapar parah  di enam provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalsel dan Kalteng.
Menurut ahli ilmu tanah dari IPB, meskipun tanaman sawit bukan merupakan tanaman yang rakus air dibandingkan dengan tanaman lain.
Namun tanaman kelapa sawit berakar dangkal sehingga tidak punya kemampuan menyimpan air sebaik pohon pada ekosistem gambut aslinya. Saat hujan datang air tidak tertahan tetapi lolos bergerak ke lapisan tanah di bawah zona perakaran yang jika lahan merupakan lahan datar dengan muka air tanah yang dangkal maka lebih mudah menyebabkan genangan dan banjir, yang jika air tersebut di drainase begitu saja maka air yang hilang juga lebih banyak, air yang tersimpan lebih sedikit.
Maka pada musim kemarau, bak ibarat api dalam sekam, meskipun apinya tidak nampak dari luar tapi baranya dibawah mampu menembus sampai kedalaman tiga meter.
Yang terjadi adalah asap tebal yang LP keluar dari bara didalam lahan gambut yang kebanyakan ditanami sawit. Kebakaran semacam ini kalau tidak cepat dipadamkan akan sulit dikendalikan karena telah menyebar kemana mana. Cadangan sumber air dilokasi kebakaran biasanya menipis bahkan bisa habis akibat evapotranspirasi yang berlebihan.
Solusi pengendalian karhutla pada korporasi kebun sawit yang luasnya puluhan bahkan ratusan ribu hektar yang legal secara hukum adalah pencegahan lebih dini dengan pendekatan forestry scientific. Kebun sawit dibagi dalam petak/blok yang luasnya 200 -250 ha. Masing masing blok/petak dibuat sekat bakar (ilaran api) Â dengan lebar 10 meter yang mengelilingi blok/petak tersebut.
Fungsi sekat bakar adalah melokalisir api bila terjadi kebakaran. Â Bentuknya, dapat berupa jalur kuning (tanah terbuka) atau jalur hijau (tanaman yang tahan api). Disamping itu, setiap blok/petak perlu dibuat menara pengawas dengan ketinggian yang cukup untuk memantau dean mengindentifikasi bila terjadi kebakaran. Dimungkinkan juga membuat embung air dan sumur bor sebagai cadangan air pada musim kemarau. Â
Pencegahan dini dan pengawasan rutin setiap blok/petak pada musim kemarau rasanya lebih efektif dan lebih ekonomis dibandingkan dengan pencegahan karhutla dengan water booming, hujan buatan dan dan mobilisasi pasukan manggala agni, pasukan TNI dan Polri seperti sekarang ini.  Bencana kabut asap karena karhutla  memang memprihatinkan, namun kita tidak ingin keadaan ini terjadi setiap tahun tanpa adanya solusi yang cerdas.
Pramono DS
Pensiunan Rimbawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H