Mohon tunggu...
Bintang Pramodana
Bintang Pramodana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Medical Doctor | Liverpool FC enthusiast | A Seasonal Wanderer | Independent Traveler | Landscape Photographer | Believe that one day he'll be riding horse across Patagonia

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Cerita Seram dari Rumah Sakit

8 Juli 2012   00:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:11 9313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah sakit mungkin salah satu tempat kerja yang paling akan mengubah diri seseorang, semakin baik, atau malah semakin buruk. Di tempat inilah sering terjadi perbedaan kepentingan dengan pertaruhan nyawa manusia. Perbedaan kepentingan yang paling kontradiktif: sosial, atau bisnis. Apakah keduanya bisa berjalan bersama? Tidak, dalam sistem yang buruk.Karyawan RS kadang harus bersitegang dengan pasien dan keluarga menyangkut pembiayaan tindakan medis. Awalnya para karyawan ini mungkin merasa bahwa hal ini bertentangan dengan kata hati mereka. Mereka menolak memberikan kamar, obat, atau apa saja, tanpa kepastian pembayaran. Para karyawan ini mungkin saja tersiksa ketika mereka harus bersitegang dengan keluarga pasien dalam menjalankan tugasnya. Tapi lama kelamaan, rasa itu bisa hilang. Dan mereka bisa berkata “tidak” tanpa emosi lagi. Para dokter dan perawat seringnya pun sudah mati rasa terhadap konflik yang terjadi hampir setiap hari itu. Mereka juga tidak lagi merasa ganjil melihat kematian di depan mereka. Itu adalah hal biasa. Sebiasa makan siang hari ini dan besok. Keluarga pasien pun melihat sesuatu dari kacamata mereka sendiri. Mereka sering lupa bahwa para karyawan RS yang membuat mereka kesal setengah mati ini cuma pekerja suruhan. Golongan paling bawah dari sebuah sistem. Keluarga pasien ini lupa bahwa perawat dan dokter sampai satpam RS yang mereka sebut mata duitan ini tidak mendapat apa-apa dari keributan ini. Seringnya keinginan menolong harus dibayar dengan kehilangan pekerjaan. Dalam sebuah sistem yang buruk, tidak ada yang mau disalahkan. Semua ingin benar dalam kebenaran mereka sendiri. IGD adalah tempat dimana semua watak manusia dalam kondisinya yang paling rapuh bertemu. Sebagai seorang dokter, anda melihat semuanya, mempunyai perasaan subjektif terhadap suatu hal, tapi tetap harus netral. Anda tidak memihak RS, anda tidak memihak pasien dan pihak-pihak yang bersengketa, anda adalah manusia setengah robot yang diharuskan netral. Jadi ketika ada dua orang terlibat kecelakaan lalu lintas dan saling menyalahkan, anda hanya bisa menilai di dalam hati. Suatu hari seorang anak orang kaya yang belum seharusnya naik motor menabrak sebuah motor yang dikendarai satu keluarga. Ayah dan anak di motor itu tidak cedera. Tapi sang ibu patah tulang lengan. Si anak orang kaya meraung-raung di IGD, dikelilingi keluarganya yang marah… pada motor yang ditabraknya. Ibu patah tulang itu diancam dilaporkan ke polisi. Suami istri itu ketakutan. Biaya pemeriksaan IGD pun tak bisa membayar. Si anak orang kaya bercerita kejadian yang sama sekali berbeda. Si ibu patah tulang terpaksa pulang tanpa tindakan apa-apa karena takut. Si anak orang kaya lepas dari tanggung jawab. Pada kejadian lain, sebuah taksi ditabrak motor. Ini kejadian dimana mobil selalu salah. Supir taksi dipaksa membayar semua. Dengan uang yang mungkin diperolehnya dengan tidak tidur kemarin malam. Di RS lah kewarasan anda diuji. Anda didatangi penipu yang bolos kantor dan kuliah lalu minta surat sakit. Anda didatangi koruptor yang berlaga sakit demi tidak diperiksa. Anda didatangi orang-orang yang mau anda tolong tapi tidak bisa. Anda dipaksa melihat detik-detik kematian itu. Anda mati rasa.

tidak ada konflik di tengah laut 

:)
:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun