Pada masa negara Indonesia disebut dengan Hindia Belanda, surat kabar menjadi salah satu media penting yang digunakan untuk menyampaikan informasi peristiwa yang sedang terjadi pada waktu itu. Surat kabar berfungsi sebagai wadah diskusi tentang isu-isu politik, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga pada masa itu surat kabar memiliki peran yang penting dalam memengaruhi opini masyarakat bahkan menciptakan propaganda di masyarakat Hindia Belanda. Di Surakarta, surat kabar Bromartani menjadi pelopor pers berbahasa daerah yang kemudian berkembang menginspirasi munculnya surat kabar lainnya, salah satunya yaitu surat kabar Darmo Kondo.
Surat kabar darmo kondo diterbitkan oleh Tan Tjoe Kwan atau dikenal dengan nama Tjoa Tjoe Koan pada tanggal 12 November 1903 di Warung Pelem, Surakarta. Tan Tjoe Kwan sebagai pemilik dan pemimpin surat kabar “Darmo Kondo” pada tahun 1903-1905. Selanjutnya, pada pertengahan tahun 1905 karena Tan Tjoe Kwan meninggal dunia akhirnya kepemilikan Darmo Kondo diambil alih oleh Tjin Tjai, selain itu ada Liem Giok Tjee dan Tjhie Siang Ling sebagai seseorang yang mahir sastra berbahasa Jawa yang juga membantu dalam memimpin redaksi Darmo Kondo.
Surat kabar Darmo Kondo berisi informasi kejadian kehidupan sosial di Surakarta. Tujuan diterbitkannya surat kabar ini agar membantu masyarakat Jawa lebih modern, sehingga target surat kabar ini ditujukan untuk cendikiawan dan priyayi Jawa. Bahasa yang digunakan pada surat kabar Darmo Kondo yakni menggunakan bahasa Melayu rendah dan aksara Jawa. Pemilihan nama surat kabar “Darmo Kondo” berasal dari serapan bahasa Sansekerta “Dharma” dan “Kandha”, “Dharma” (dibaca: Darmo) memiliki arti kebajikan, sedangkan pada kata “Kandha” (dibaca Kondo) memiliki arti kata.
Surat kabar ini terus berkembang. Pada tahun 1903-1910 surat kabar Darmo Kondo memberitakan peristiwa beragam mulai dari berita politik, sosial, ekonomi, dan memuat iklan produk maupun jasa. Di tahun yang sama pada 1910, perusahan percetakan surat kabar Darmo Kondo dibeli oleh organisasi Boedi Oetomo cabang Surakarta yang saat itu dipimpin oleh Dr. R.T Hardjodipuro dengan harga 50.000 gulden. Pada tahun 1912 percetakan Budi Utomo cabang Surakarta menerima hak penerbitan dari Darmo Kondo dengan keuntungan sebesar satu persen. Perusahaan percetakan tersebut berganti dengan nama baru menjadi N.V. Handelsdrukkerij Boedi Oetomo. Setelah diakuisisi, kantor percetakaan yang awalnya di warung pelem dipindah ke daerah Kauman. Mulai saat itu Darmo Kondo menggantikan peran majalah Boedi Oetomo yang berhenti terbit semenatar pada November 1913 hingga 1915. Boedi Oetomo ingin menyebarluaskan cita-citanya ke masyarakat agar pelajar Indonesia dapat sama-sama membahas siasat kemerdekaan dari segala aturan yang mengekang ajaran pendidikan.
Penerbitan surat kabar ini sebanyak tiga kali menggunakan bahasa Jawa dalam satu pekan dan tiga kali menngunakan bahasa Indonesia. Surat kabar Darmo Kondo menjadi surat kabar terkemuka di Pulau Jawa, namun tergantikan oleh Oetoesan Hindia yang memiliki target masyarakat lebih luas. Tergantikannya Darmo Kondo karena isinya yang masih berpusat pada kebudayaan Jawa. Pada 1932 setelah Boedi Oetomo dilebur dengan Perindra, Darmo Kondo berganti nama menjadi Pewarta Oemoem. Selain itu, partai politik Perindra juga memiliki surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya dan Berita Oemoem di Bandung. Pada akhirnya perjalanan surat kabar Darmo Kondo hanya bertahan sampai tahun 1942.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H