"Biasanya harga cilok per biji adalah Rp 500,-, namun saat ini menjadi Rp 1.000,-"
Ada hal yang mengejutkan di waktu lebaran kali ini (Idul Fitri 1443 H). Sebeneranya mungkin bukan soal serius, namun menurut saya asyik saja untuk diulas.Â
Ketika perayaan Hari Raya Idul Fitri selalu saja dihadirkan hidangan khas seperti ketupat, opor ayam, rendang, kue toples seperti nastar, kastengel, hingga putri salju.Â
Rasanya memang enak, namun terkadang muncul rasa bosan ketika menyantap kuliner-kuliner itu ketika momen lebaran sehingga rasanya butuh penawar rasa bosan.Â
Alhasil saya mencoba ke Solo untuk menikmati tahu kupat yang telah direkomendasikan oleh salah seorang teman. Nah, ada hal yang menurut saya menarik untuk diulik ketika melakukan perjalanan ke Solo.Â
Di tengah perjalanan tetiba saja perut saya keroncongan, seperti biasa saya mencoba mencari penjual cilok yang biasa mangkal di minimarket di sepanjang jalan.Â
Setelah menemukan penjual cilok saya pun langsung memesan, "Pak, kula tumbas gangsal ewu nggih." (Pak, saya beli lima ribu).
"Nggih mas." (Ya mas) Jawab penjual cilok.
Namun, apa yang terjadi saya pun sedikit terkejut ketika menerima seplastik cilok itu. Biasanya jika saya membeli lima ribu rupiah saya mendapatkan sepuluh biji, namun saat itu saya hanya mendapatkan lima biji saja. Sebelum saya bertanya, penjual cilok itu langsung menjelaskan. "Mas, maaf ya harganya naik ini sekarang, karena bahan-bahan juga ikut naik."
"Oh, nggih pak mboten napa-napa." (Oh, iya pak tidak apa-apa) Jawab saya sembari tersenyum mencoba mengerti keadaan yang terkini terkait harga-harga yang melambung tinggi dan berdampak pula pada naiknya harga salah satu kudapan favorit, yakni cilok.Â
Sebuah kisah di kala momen lebaran tidak melulu soal ibadah dan bagaimana tradisi perayaan yang terjadi. Kisah tentang naiknya harga cilok pun rasanya menurut saya cukup asyik untuk diulik. Meski harganya naik, cilok tetap menjadi kudapan favorit. (prp)