Mohon tunggu...
Nadya Irsalina
Nadya Irsalina Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Krisis Moral dan Hak Cipta Arsitektur dalam Era Digital

22 Maret 2018   21:39 Diperbarui: 22 Maret 2018   21:51 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam dua dekade terakhir, seni dan teknologi semakin tidak bisa dipisahkan. Teknologi (yang kemudian dipersempit menjadi teknologi di era digital) kemudian dijadikan sebagai suatu media story tellingyang lebih kaya lagi dalam penyampaian seni. Dalam hal ini, para seniman ini ditawarkan kemudahan untuk bisa berkarya tidak serumit sebelumnya. Butuh sebuah penggambaran tentang sebuah pemandangan yang jelas? Kemungkinan terbesar media terbaik untuk mengkomunikasikannya adalah foto.

Media sosial (sebagai salah satu manifestasi teknologi di era digital) adalah salah satu media terluas yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat di seluruh bagian dunia. Menurut Forbes[1], tren periklanan sekarang cenderung berorientasi di media sosial (menjangkau 283 juta orang) dibandingkan dengan televisi (182 juta orang). 

Selain itu, Pak Wired[2] menyatakan bahwa pengeluaran untuk iklan di media sosial menghabiskan $72.09 milyar USD, diikuti oleh televisi yang 'hanya' menghabiskan $71.29 milyar USD. Apabila dilihat dari data yang ada, terlihat bahwa bisnis lebih condong untuk menghabiskan uang sedikit lebih banyak untuk media yang dapat memberikan mereka audiens yang lebih banyak.

            Tren itupun akhirnya dimanfaatkan oleh para seniman. Dalam rangka untuk mempublikasikan dan menjual karyanya, tak sedikit seniman yang membuat akun media sosial -- musisi membuat akun SoundCloud, desainer grafis membuat akun Behance -- semua dalam rangka untuk memperbesar lingkaran audiens dan pada akhirnya berujung kepada probabilitas pembelian yang semakin tinggi.

Namun, salah satu isu terbesar dalam publikasi seni di media sosial -- hak cipta. Sebagai contoh, tidak jarang ditemukan 'seniman' yang dimana karyanya mengambil karya orang lain, baik dari ide, penggambaran, sampai ke akhir bentukannya. Selain itu, banyak seniman-seniman ini yang juga memodifikasi atau mereduksi karya tersebut sehingga tidak terlihat sama, dan mereka dapat mengklaim  yang telah dipublikasikan melalui media sosial, diambil seutuhnya (atau sebagian, atau disusun kembali) dan mengklaim bahwa karya itu adalah miliknya.

            Pola pencurian karya ini juga ditemukan di ranah arsitektur. Pada tahun 2013, telah diduga bahwa Zaha Hadid mengambil jalur hukum ketika bangunannya di Cina ditiru oleh seorang kontraktor yang berada di Cina juga. Patrick Schumacher, salah satu mitra Zaha Hadid menyatakan di media sosialnya[3] bahwa:

"Architects oversee the FORM of the built environment, not its content... Architecture is NOT ART although FORM is our specific contribution to the evolution of world society. We need to understand how new forms can make a difference for the progress of world civilization" (Schumacher, 2014)

Apabila ditelaah dari kalimat tersebut, Schumacher memulai sebuah klaim bahwa arsitek yang menciptakan bentuk baru dapat dinilai 'kontributif' dalam rangka membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Namun, tak jarang juga arsitek terkenal lainnya menggunakan bentuk yang lebih kompleks dan konseptual dalam rangka mempromosikan karyanya kepada masyarakat luas -- dan terlebih lagi dengan media sosial, itu akan menjadi kombo yang letal.

            Pendirian Zaha Hadid dan Patrick Schumacher dapat dinilai sebagai kontradiktif -- apabila Schumacher menyatakan bahwa bentuk yang dihasilkan oleh arsitek adalah sebuah kontribusi terhadap perkembangan masyarakat ke depannya -- bukankah seharusnya Zaha Hadid tidak merasa dirugikan apabila karyanya di replikasi apabila pada akhirnya bangunan itu juga akan bermanfaat bagi penggunanya? Di sisi lain, bukankah Zaha Hadid sudah dibayar untuk jasa desainnya, lalu apa salahnya?

            Mungkin dengan perkenalan media sosial menjadi salah satu media dalam menceritakan arsitektur memicu pertanyaan apakah  media sosial membuka debat apakah arsitektur lebih condong kepada promosi ambisi pribadi sang arsitek dibandingkan aspek sosial yang dapat dihasilkan bangunannya? Mengutip perkataan musisi Frank Zappa, "Art is making something out of nothing and selling it."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun