PurwodadiadalahibukotaKabupaten Grobogansekaligus nama sebuahkecamatandi Kabupaten Grobogan,ProvinsiJawa Tengahbagian timur. Terletak di jalurlalu lintasalternatifdariSemarang-Surabaya, dan menjadi kota penghubung atau kota penghubung kota-kota diPanturaTimur (yaituKudus,Jepara,Pati,RembangdanBlora) menuju ke KotaSoloatauSurakarta. Kota ini secaratopografiberbentuklembahyang diapit oleh dua pegunungan kapur, yaituPegunungan KendengatauPegunungan Kapur Selatan di bagian selatan danPegunungan Kapur Utaradi bagian utara, yang dibatasi olehSungaiLusidi sisi timur dan Utara kota, yang selanjutnya bergabung denganSungaiSerangmengalir keLautJawa. Dua pegunungan tersebut terdiri darihutan jati,mahonidan campuran yang memiliki fungsi sebagai resapan air hujan di samping juga sebagai lahan pertanian meskipun dengan daya dukung tanah yang rendah. Lembah yang membujur dari barat ke timur merupakan lahan pertanian yang produktif, yang sebagian telah didukung jaringan irigasi. Lembah ini selain dipadati olehpendudukjuga terdapat banyak aliransungai,jalan rayadan jalankereta api. Kekeringan yang akan saya tulis di sini meliputi kekeringan air sawah/ladang pertanian dan kekeringan air untuk keperluan rumah tangga antara lain: minum, mandi dan cuci. Rasanya aneh kalau disebut sebagian Kabupaten Grobogan mengalami kekeringan, mengingat banyak saluran irigasi malang melintang melintas melalui bawah jalan raya atau selajur dengan jalan raya maupun melintas lewat bawah sungai yang dalam, bukan menyeberang seperti pada jalan raya, tetapi kenyataannya memang kekeringan terjadi di sebagian Kabupaten Grobogan.
Salah satu saluran irigasi sekunder yang setiap musim kemarau tak pernah teraliri dari saluran irigasi primer.
Perjalanan saya dimulai dengan menyusur dari bagian barat-utara lebih dahulu. Wilayah ini bentuk ketinggian (kontur) tanahnya datar, tidak berbukit seperti halnya daerah utara. Dari arah Semarang, tepatnya daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Demak (data dari Wikipedia tak menyebutkan Kabupaten Demak sebagai salah satu batas wilayah bagian barat-utara), termasuk daerah yang sawahnya subur tak kekurangan air, karena ada beberapa saluran irigasi primer (utama) yang nisbi (relatif) besar dan baru dibangun beberapa tahun terakhir dan airnya cukup melimpah.
Mendekati kota, yang bentuk ketinggian tanahnya juga nisbi datar tak berbukit, persawahan masih nisbi banyak air, jadi tak ada masalah. Ke arah timur-utara, ke arah kota Jepara, Rembang dan Blora, persawahan juga nisbi subur tak kekurangan air meski saluran irigasi primer tak saya temui. Tetapi di wilayah ini ditemui 3 sumber air yang melimpah di beberapa tempat yang bisa dipakai sebagai air minum, mandi dan cuci. Tempat beberapa sumber air tersebut tak begitu jauh satu dengan yang lain. Ada satu sumber air yang letaknya sangat jauh justru terletak di daerah paling selatan. Sumber air terdiri dari sumber air yang diberdayakan dengan pompa sumur dalam (deep well pump) hampir tanpa henti.
Bagi petani di daerah yang sebagian warganya bertani palawija dan tembakau pada umumnya mereka menyiram tanamannya tergantung pada curah hujan yang selama ini tak kunjung turun dan menyedot dari sungai besar yang melintas di tengah perkampungan dan persawahan. Tetapi kedalaman sungai dan debit air yang tersisa di sungai menjadi kendala untuk bisa menyedot dengan pompa disel untuk wilayah yang sangat luas. Paling beruntung yang sawah dan ladangnya berdekatan dengan sungai. Lalu bagaimana dengan sawah dan ladang yang lokasinya jauh dari sungai? Mereka hanya bisa tawakal.
Perjalanan saya selanjutnya menyusur arah timur-selatan. Di daerah timur-selatan yang bentuk ketinggian tanahnya juga datar tak berbukit banyak ditemui sungai-sungai kecil yang tak berair. Juga ada beberapa saluran irigasi, dari mulai yang primer, sekunder, tertier sampai kwartier. Namun saluran induk air yang berasal dari Waduk Kedungombo, entah mengapa tak kunjung sampai di sana.
Pengamatan saya lebih banyak ke arah selatan, yang bentuk ketinggian tanahnya campuran antara datar di daerah tengah-utara dan berbukit di sebelah selatan.
Persawahan di daerah Grobogan bagian barat-utara dan utara-timur didominasi padi, sementara daerah timur-selatan dan selatan didominasi palawija dan tembakau. Untuk daerah yang menanam palawija dan tembakau sekaligus akan menjadi dilema. Di satu sisi petani palawija memerlukan air hujan untuk menyiram tanaman, sementara petani tembakau (yang bisa jadi adalah petani yang sama dengan yang menanam palawija) tidak membutuhkan hujan karena hujan akan merusak dan membuat mutu tembakau akan menurun seperti saat akan memanen sebentar lagi (untuk yang belum memanen karena masa tanamnya mundur).
Dari tanggal 3 Agustus sampai dengan 7 Oktober 2013 hujan hanya turun 3 kali di beberapa tempat tertentu.
Lalu bagaimana upaya petani menyirami sawah dan ladangnya? Ada beberapa petani di beberapa tempat tertentu yang menggali sumur di sawah sampai kedalaman 6-8 meter lalu menyirami ladangnya, misalnya jagung, secara manual, satu persatu, batang per batang. Ada kalanya memanfaatkan sisa air hujan yang masih ada di sungai-sungai kecil untuk ditimba guna mengairi sawah yang saat ini disulap menjadi ladang.
Lalu bagaimana dengan warga sendiri yang memerlukan air untuk minum, mandi dan cuci? Untuk keperluan air minum, warga ‘yang mampu’ bisa membeli ‘air isi ulang’ yang didatangkan jauh dari Semarang atau Ungaran, yang jaraknya sekitar 70 – 100 km dari Grobogan. Atau air dari sumur bor dalam dari daerah Grobogan sendiri yang jaraknya dari wilayah selatan atau timur sekitar 30 km. Air dipesan melalui telepon genggam, diantar dan dimuat sebuah truk ‘engkel’ (roda empat) yang berisi 2 (dua) buah drum plastik berukuran masing-masing 2.000 (dua ribu) liter. Sesampai di tempat pemesan, air dipompa ke penampung. Masih beruntung hampir seluruh jalanan di kampung maupun antarkampung di Grobogan oleh sebagian besar warganya dan pemerintah daerah sudah disemen (meski hanya pada bagian yang ditapaki roda mobil saja), sehingga truk pengangkut air bisa masuk sampai di pelosok gang. Harga 1 (satu) truk air berukuran 4.000 (empat ribu) liter adalah Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) untuk rumah yang berdekatan dengan jalan raya dan sampai Rp.180.000,- (seratus delapan puluh ribu rupiah) untuk rumah yang letaknya di perbukitan atau masuk gang.
Cara menyimpannyapun bermacam-macam. Sebagian besar warga menyimpan di gorong-gorong sumur tadah hujan (karena memang jarang yang bermata air) yang dilapisi plastik agar tak meresap ke tanah sekitarnya dengan sia-sia (dengan cara memasukkan plastik berbentuk kantong panjang seukuran lebar dan panjang/kedalaman sumur yang bagian bawahnya diikat).
Dari tahun ke tahun apabila musim kemarau selalu terulang dan terulang lagi 'kekeringan' di tempat yang sama. Entah kapan Pemerintah Daerah tergerak dan berpikir memberdayakan dengan banyaknya saluran irigasi yang banyak malang melintang dan menghabiskan biaya besar dari uang pajak yang dipungut dari rakyat tersebut sementara mereka sendiri tak bisa menikmatinya.
***PH***
* Sebagian data diambil dari Wikipedia.
* Seluruh gambar oleh Pramana Hadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H