Suatu ketika, saya dihinggapi bintit mata yang tak tahu dari mana asal-usulnya.
Di Pagi hari saat saya membuka mata, cenat cenut terasa di mata sebelah kanan saya.
Karena syaraf mata terhubung langsung dengan kepala, sehingga bintit yang meradang di mata menjalarkan pening di kepala.
Tak cukup hanya itu, yang lebih parah adalah rasa malu saya menghadapi dunia.
Pertanyaan simpatik dari teman yang menanyakan: “Kenapa Matamu?”, berubah makna menjadi sebuah sindiran semata.
Dan menyiapkan jawaban atas pertanyaan itu, sedikit banyak berkontribusi menambah pusing di kepala.
Belum lagi masalah penampilan. Wajah yang sebelumnya rupawan, kini berubah menjadi buram.
Kacamata hitam menjadi pilihan penyamaran. Alih-alih menyamarkan, malah menjadi bahan tertawaan teman.
Tapi sejenak saya renungi makna hakikat bintitan.
Walau bentuk dan rupanya menjijikan. Dia berjasa mengeluarkan racun dari tubuh saya.
Racun yang sedikit demi sedikit bisa menggerogoti tubuh saya.
Dia rela menjadi objek yang tidak diinginkan, demi kesehatan saya.
Bahkan terlintas di benak saya untuk mengoperasinya karena alasan estetika, walau akan timbul biaya.
Begitu rentan-nya diri ini, hanya karena bintit dimata, dunia sudah terasa begitu seramnya.
Padahal, jika bintit itu saya biarkan leluasa tumbuh di kelopak mata saya.
Dan memandangnya sebagai anugerah, betapa indahnya dunia.
Teman-teman yang tadinya hanya menyapa seperlunya, menjadi begitu sangat perhatian kepada saya.
Alih-alih hanya mengucapkan selamat pagi/siang/sore, tegur sapa dengan teman menjadi meningkat mutunya.
Tegur sapa mengalir menjadi percakapan yang berlandaskan kasih sayang terhadap sesama.
Dan setelah seminggu bertengger, si bintit itu malu-malu mengundurkan diri dari kelopak mata saya.
Memang menimbulkan bekas luka, tapi itu ongkos yang tak seberapa untuk hikmah yang diberinya kepada saya.
Salam bintit. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H