Bencana geologis yang diiringi dengan curah hujan tinggi akhir-akhir ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Setidaknya bencana longsor sudah terjadi di dua daerah yaitu di Purbalingga dan Brebes Jawa Tengah, serta bencana banjir melanda Pangandaran, Cilacap, Kabupaten Bogor, dan Kota Bandung. Longsor di Kecamatan Salem, Brebes ini melanda 2 Desa, yaitu Desa Rajawetan dan Desa Pasir Panjang. Hingga saat ini, bencana longsor telah membuat kerusakan seluas 13,5 hektar (news.metrotvnews.com, 2018) dan telah menelan 11 korban jiwa dan 13 orang masih dinyatakan hilang (tribunnews.com, 2018).Â
Proses pencarian korbanpun sempat terhenti dikarenakan potensi pergerakan tanah lanjutan yang masih tinggi. BPBD Kabupaten Brebes telah mendirikan pos komando (posko) di rumah warga terdekat lokasi bencana.
Berdasarkan Peta Prakiraan Potensi Terjadi Gerakan Tanah pada Bulan Februari 2018 di Kabupaten Brebes, daerah bencana terletak pada zona potensi terjadi gerakan tanah tinggi (merah), artinya Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, sedangkan gerakan tanah lama dapat aktif kembali (BNPB, 2018).Â
Dalam RTRW kawasan tersebut perlu rekayasa teknik bangunan untuk menahan kekuatan getaran, dengan memperkuat struktur bangunan pada wilayah yang diketahui rentan terhadap gerakan tanah; membatasi perkembangan penduduk pada wilayah rawan longsor terutama pada wilayah dengan kemiringan 40 % yang diketahui dapat mengakibatkan bahaya longsor; serta stabilitasi lereng melalui reboisasi dengan tanaman keras.Â
Keterkaitan antara data-data tersebut dan tindakan penanggulangan bencana terutama pada tahap pra bencana tentu krusial mengingat manajemen bencana sangat penting dalam mengurangi risiko bencana.Â
Tahapan pra bencana ini adalah tahapan pencegahan dan persiapan, sebelum tahap pada saat terjadi bencana dan penanggulangan pasca bencana. Apalagi melalui UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, prinsip penanggulangan kebencanaan saat ini sudah menganut prinsip pengurangan bencana tidak lagi bersifat reaktif. Data dan informasi geospasial seperti peta gerakan tanah dan peta lokasi bencana tersebut digunakan sebagai masukan dalam siklus manajemen bencana.Â
Pada saat pra bencana, diperlukan pembuatan peta bencana, kerentanan, kapasitas, dan sumberdaya. Namun, tidak hanya di Kabupaten Brebes seperti kasus di atas yang cenderung belum sinkron antara peta bencana, rencana tata ruang dan wilayah, serta kondisi asli di daerah, di Indonesia sendiri masih sangat sulit mengintegrasikan data-data tersebut karena berada pada wewenang lembaga yang berbeda. Kajian mengenai hal ini pula belum  semua terintegrasi dan terukur dalam kebijakan daerah, apalagi Brebes belum memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang menghubungkan aspek lingkungan dengan kebijakan dan arah program daerah.
Maka dari itu, perlu dibuatnya platform data terintegrasi tidak hanya dengan kementerian/lembaga, namun juga melibatkan masyarakat dan perguruan tinggi. Ketidaksinkronan data antara aspek geospasial dan sosial yang ada menuntut adanya data yang terintegrasi yang dapat diakses antar kementerian/lembaga sehingga pembuatan kebijakan dapat lebih akurat.Â
Selain pendekatan spasial, pengetahuan masyarakat sebagai aktor yang berhadapan langsung dengan kondisi lingkungan perlu dilakukan baik dalam pengumpulan data maupun sosialisasi data agar data yang ada dapat dipahami oleh aktor yang berhadapan langsung dengan bencana. Kedua, perlu Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang dituangkan dalam kebijakan daerah berupa RPJMD Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai bagian manajemen bencana.Â