Meskipun banyak kritikan yang masuk mengenai FTV baik jalan cerita, penokohan atau pemeranan tokoh yang tidak masuk akal, dan bahkan sampai terjadi insiden rumah sakit beberapa waktu lalu yang sempat kontroversial. Dari peristiwa tersebut memang seharusnyalah production house pembuat FTV harus lebih peka, dan merencanakan skenario serta setting tempat yang sekiranya tidak menjadi hal yang sangat vital bagi publik.
Akan tetapi, ketika menelaah dan mengamati secara lebih mendalam setidaknya ada sisi positif yang diangkat FTV akhir-akhir ini yakni penggunaan latar setting daerah-daerah tradisionil yang kental akan budaya setempat. Beberapa kota yang sering dimanfaatkan untuk pengambilan gambar antara lain : Yogyakarta, Bandung, Bali, Garut dan Surakarta (Solo). Langkah ini bisa dinilai tepat karena secara tidak langsung telah mempromosikan wisata daerah setempat, termasuk apa yang khas di daerah tersebut.
Sebagai contoh, Obyek wisata kawah putih, Bandung pernah menjadi latar dari FTV dan tidak seperti film-film pada umumnya, di FTV tersebut diperlihatkan secara nyata nama tempat, kehidupan sehari-hari masyarakat, kerajinan tangan sekaligus makanan khas daerah tersebut. Sekarang kapan lagi pedagang-pedagan tradisional kerajinan tangan bisa promosi di televisi? Yogyakarta lengkap dengan kehidupan malam angkringannya, gudeg, komunitas vespa skuter, kerajinan perak, andong, bahkan sampai keindahan pantai - pantai disana semua tertampil apik. Begitupula Bali dengan segudang pariwisatanya yang disajikan secara proporsional termasuk ayam betutunya. Garut dengan suasana kesejukan dan dodol aneka rasa yang dibuat oleh ibu pemeran utama FTV. Surakarta berikut dengan suasana nan tradisionil dan keramahannya.
Hal-hal diatas patut diacungi jempol serta bisa menjadi panutan bagi film-film yang nantinya akan dibuat. Tidak hanya Film televisi saja akan tetapi juga layar lebar Indonesia. Sangat miris melihat perfilman Indonesia yang setiap kali didominasi oleh film horor yang mohon maaf bertemakan “dewasa”. Dengan demikian kehidupan yang sederhana nan tradisional tidak hanya bisa ditampilkan dalam film-film yang bertemakan historis masa lampau saja seperti gendhing sriwijaya, akan tetapi bisa juga diperlihatkan bahwa di zaman modern sekarang pun masih ada suasana masyarakat yang tidak mengenal kesibukan padat perkotaan, dimana pasar tradisional masih menjadi tumpuan kebutuhan, dimana banyak orang masih memakai pedati dan andong, becak dan sepeda masih umum digunakan, dan semua hal-hal baik yang disajikan. Berbeda dengan mayoritas sinetron yang menceritakan keluarga kaya, berebut harta, putri tertukar sandal, dan hal aneh yang bahkan lebih tidak masuk akal.
Kemudian, pada akhirnya semua keputusan ada di tangan pemirsa masing-masing. Tentunya masyarakat kini lebih pandai dalam menyaring informasi. Pekerjaan rumah yang terberat saat ini adalah bukan bagaimana kita menanggapi suatu tontonan akan tetapi bagaimana cara setiap orang agar suatu tontonan dapat terseleksi dan terjelaskan oleh anak-anak di bawah umur, mengingat saat ini sangat sedikit sekali pilihan tontonan untuk anak-anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H