Mohon tunggu...
prakoso bhairawa putera
prakoso bhairawa putera Mohon Tunggu... -

Pada tahun 2009, Ia mendapat Penghargaan Anugerah Riset dan Teknologi dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Ia juga menjadi Penulis Muda Berbakat dalam ajang Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2009. Saat ini aktif menjadi peneliti pada Pusat Penelitian Perkembangan IPTEK – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tujuh Belasan: Seremonial Hampa dan Berulang

21 Agustus 2011   04:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:35 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

TUJUH Belas Agustus adalah hari yang sangat istimewa bagi bangsa Indonesia. Hal ini sangatlah jelas karena pada hari itu adalah hari bebasnya bangsa Indonesia dari tirani penjajahan selama lebih kurang tiga ratus lima puluh tahun. Kini bangsa yang kemudian dikenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesai ini, telah merdeka dan berdaulat penuh atas negaranya sendiri.

Diantara kita tentulah masih ingat dan sadar betul bahwa kemerdekaan Indonesia tak bisa kita lepaskan dari sejarah, dengan hanya bermodalkan bambu runcing ataupun persenjataan seadanya para pendahulu kita sanggup membuat para penjajah bertekuk lutut dan bersedia hengkang dari nusantara tercinta ini. Salah satu faktor yang membuat para pejuang kita mampu menghancurkan pertahanan musuh adalah semangat juang yang tinggi untuk bisa lepas dari segala bentuk penindasan dan semangat mengamalkan agama yang tinggi.

Hal ini dapat kita lihat dari sekian banyak jumlah pahlawan nasional yang merupakan barisan terdepan dalam menumpas kaum penjajah. Sebut saja Sultan Ageng Tirtayasa, Pattimura, Sultan Mahmud Badaruddin II, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Panglima Sudirman, dan lain-lain. Mengingat kegigihan perjuangan mereka hati terasa bergetar. Namun saat ini timbul pertanyaan besar, masih adakah semangat juang tersebut terimplementasikan dalam kehidupan di alam kemerdekaan ini?

Pada bulan Agustus, biasanya di seluruh persada Nusantara marak para warga yang atas perintah RT atau kelurahan tampak menyambutnya. Gapura atau sekadar susunan bambu yang dicat merah-putih menghias pintu-pintu masuk perkantoran, kompleks, jalan kampung hingga petak gang kecil. Tiang bendera yang bercat putih dan masih kosong terpancang tegak di sana. Dan di kampung ada pemuda membuat patung kain, bertopi, diberi kaca mata hitam, tapi tampak berdiri tanpa daya pada tiang yang menopangnya. Di dada patung yang lebih mengesankan hantu itu tergantung kertas karton yang bertuliskan ''korban narkoba dan keganasan koruptor''.

Begitulah sedikit gambaran para warga menyambut hari besar, hari kemerdekaan. Asal ada warna merah putih dan slogan kosong, cukuplah. Nanti pada malam hari H mereka akan berkumpul di rumah RT atau di lapangan untuk bersama-sama menyelenggarakan renungan kemerdekaan. Pagi harinya anak-anak sekolah, pegawai, perangkat desa, beriringan pergi ke tanah lapang untuk menonton upacara yang sudah baku dan basi sambil mendengar Pak Lurah atau Pak Camat membacakan teks pidato Bupati atau Gubernur.

Sesudah itu usailah. Dan hal itu terjadi sejak dulu hingga nanti. Rakyat kecil hanya memaknai hari kemerdekaan sebagai upacara rutin yang kering dan begitu-begitu saja. Bahkan di berbagai tempat rakyat miskin selalu terbebani ketika mereka harus membayar kontribusi biaya perayaan agustusan. Banyak di antara mereka harus mengurangi uang belanja yang sudah terlalu minim demi perayaan kemerdekaan yang tak pernah punya arti apapun bagi mereka, terlebih disaat bulan Ramadhan ini.

Malah tentang makna kemerdekaan sebenarnya mereka tidak tahu dengan jelas. Sebatas yang mereka pahami, kemerdekaan adalah lenyapnya penjajah Belanda dan Jepang dari Indonesia. Atau berdirinya pemerintah yang dipegang oleh bangsa sendiri. Sedangkan berkah kemerdekaan yang seharusnya datang, kebanyakan mereka tidak tahu. Mereka tidak mengerti bahwa setelah merdeka dan otomatis menjadi warga negara RI mereka mempunyai hak-hak sipil yang diatur jelas dalam undang-undang, sebanding dengan kewajibannya. Orang kampung tidak banyak yang tahu bahwa setelah membayar pajak PBB -- inilah pajak yang paling umum -- selain pajak penerangan jalan, restribusi hajatan, dan sebagainya, mereka berhak menuntut hak berupa layanan sipil seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan lain-lain. Akhirnya tujubelasan hanya menjadi seremonial hampa dan berulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun