Oleh: Alifia Nur Ifany, Nabila Jauza, dan Prajna Syifa Paramitha Divani
Surakarta - Kasus kekerasan seksual sudah tidak asing didengar oleh masyarakat Indonesia. Menurut UU Nomor 35 Tahun 2014, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.Â
Kemudian, Komnas Perempuan dalam penelitiannya selama 12 tahun menyimpulkan terdapat 15 macam kekerasan seksual, yaitu perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, serta kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Kekerasan seksual dapat terjadi kapan saja, oleh siapa saja, kepada siapa saja, dan di mana saja, termasuk di lingkungan sekolah.
Dalam upaya pengabdian kepada masyarakat, tiga mahasiswa Psikologi Universitas Sebelas Maret melakukan psikoedukasi di beberapa SMA Negeri Ramah Anak di Surakarta. Tema kekerasan seksual diusung sebagai langkah preventif yang harapannya tepat untuk menanggulangi serta mengatasi kekerasan seksual pada anak terkhusus siswa.
Informasi yang diberikan, yaitu sex education yang di dalamnya terdapat pengertian kekerasan seksual, macam-macam kekerasan seksual, bentuk kekerasan seksual di sekolah serta dalam hubungan romantis, pengertian dari korban, saksi, serta pelaku, dampak psikologis yang akan dialami korban kekerasan seksual, cara melindungi diri dari peristiwa kekerasan seksual, sikap yang harus diambil jika menjadi korban kekerasan seksual, respons yang harus dilakukan jika mendapati teman sendiri adalah korban, dan hotline di Surakarta yang dapat dihubungi jika menjadi dan/atau mendapati peristiwa kekerasan seksual.
"Ini mendukung program pencegahan seksual di sekolah kami," ungkap Ibu Arni Ferra Sinatra, S.Pd., M.Pd. selaku Wakil Kepala Bagian Kurikulum SMAN 1 Surakarta.Â
Tak hanya membantu sekolah mewujudkan programnya, salah satu siswanya menjelaskan bahwa, "Menurut aku sangat membantu untuk menambah wawasanku dan temen-temen tentang apa yang boleh dan tidak boleh dipegang, dijelasnnya juga detail banget jadi mudah dipahami" ujar Zefanya.
Pada akhirnya, kegiatan ini tak hanya memenuhi tugas akhir berupa pengabdian masyarakat tetapi juga membantu sekolah mencegah terjadinya kekerasan seksual.