Mohon tunggu...
Prajna Diva Azzahra
Prajna Diva Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Islam Indonesia

Saya merupakan mahasiswi semester 5 jurusan Hubungan Internasional di Universitas Islam Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Global Times Melakukan Propaganda Melalui Pemberitaan Konflik Laut China Selatan?

11 Januari 2024   07:27 Diperbarui: 11 Januari 2024   08:18 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.wikipedia.org/wiki/Global_Times

Seiring dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, media nasional telah mengalami transformasi yang signifikan. Meskipun kebebasan berekspresi telah meningkat, pemerintah Tiongkok masih memegang kendali yang kuat atas media, menggunakannya sebagai alat propaganda. Pemerintah Tiongkok dapat mengidentifikasi dan mengontrol data yang tersebar di internet, mereka secara aktif menggunakan media untuk membentuk opini publik dan mempromosikan naratif yang diinginkan. Para analis melihat bahwa media Tiongkok sering menyebarkan pesan yang mendukung kebijakan pemerintah dengan mengendalikan naratif tentang masalah sensitif seperti hak asasi manusia dan politik internasional.

Salah satu contoh media massa yang dapat memberikan peran propaganda ini adalah Global Times. Global Times merupakan surat kabar harian berbahasa inggris yang diterbitkan di Tiongkok. Surat kabar ini dibentuk pada April 2009 dan dimiliki oleh People's Daily, yang merupakan media resmi Partai Komunis Tiongkok (CNN Indonesia, 2020). Pembentukan surat kabar ini memiliki tujuan agar masyarakat Cina dan masyarakat global dapat memiliki channel yang dapat diandalkan untuk memahami satu sama lain dan juga memperkenalkan Tiongkok yang penuh semangat dan rumit kepada dunia (Global Times, n.d.). Surat kabar ini tidak hanya menyajikan berita, tetapi juga menawarkan pandangan opini yang mencerminkan posisi pemerintah Tiongkok.

Kasus yang hingga saat ini kerap diberitakan oleh Global Times salah satunya adalah Konflik China Selatan. Konflik Laut China Selatan sendiri merupakan sengketa teritorial yang terjadi antara beberapa negara, seperti Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Klaim atas kepulauan, air, dan sumber daya alam di Laut China Selatan---yang merupakan jalur perdagangan penting yang kaya akan sumber daya laut---adalah topik utama sengketa ini. Ketegangan teritorial, klaim maritim yang tumpang tindih, dan masalah hak eksplorasi sumber daya alam adalah semua faktor yang menyebabkan sengketa Laut China Selatan, yang pada gilirannya menyebabkan ketidakstabilan di wilayah tersebut (Bateman & Emmers, 2008).

Lantas apakah melalui pemberitaan-pemberitaan terkait Konflik China Selatan yang dikeluarkan Global Times terdapat propaganda di dalamnya agar masyarakat global berpihak pada Tiongkok?

Global Times melalui artikelnya yang diterbitkan pada 10 Maret 2016 dengan judul "Beijing has case for 'historic rights' at sea" menjelaskan bahwa Tiongkok memiliki hak historis terhadap Laut China Selatan. Hal ini dikarenakan sejak dahulu kala para nelayan Tiongkok telah melakukan perdagangan perairan semi tertutup di Laut China Selatan. Selain itu, negara Tiongkok juga memiliki kepentingan dalam pelestarian hak bersejarah dengan menjaga hukum "Sembilan Garis Putus" yang berfungsi sebagai perimeter hak nelayan tradisional Tiongkok (Gupta, 2016). Ketidakabsahan dari hukum ini menjadi pertentangan tegas yang dikeluarkan Manila dan Washington. Mereka berpendapat bahwa batasan "hak bersejarah" yang dinikmati oleh rakyat Tiongkok di Laut Cina Selatan adalah cacat hukum (Gupta, 2016).

Namun, walaupun dengan adanya pertentangan ini, dalam artikel yang sama dan artikel "No dispute over China's historical rights" Global Times memberikan penjelasan bahwa Mahkamah Internasional (ICJ) secara resmi menyatakan bahwa terdapat faktor-faktor khusus, terutama faktor-faktor yang berkaitan dengan perikanan tradisional, yang mampu menciptakan "hak bersejarah" di ruang maritim. "Hak bersejarah" ini dapat dilaksanakan secara non-eksklusif oleh negara ketiga seperti Tiongkok di zona ekonomi eksklusif (ZEE) suatu negara pantai, dalam hal ini Filipina (Gupta, 2016). UNCLOS secara eksplisit mengakui bahwa Konvensi ini tidak mencakup semua hal dan bahwa kategori hak-hak lain yang tidak diatur oleh Konvensi tetap diatur oleh aturan dan prinsip hukum internasional secara umum (Yang, 2016). Maka, dari sudut pandang yurisprudensi, substantif dan prosedural, Sembilan Garis Putus-putus mempunyai dasar yang kuat dalam hukum internasional dan kritik yang disampaikan Manila dan Washington adalah kritik tidak mendasar (Gupta, 2016).

Melalui beberapa artikel yang dikeluarkan Global Times, Pemerintah China juga terlihat melakukan media framing terhadap Negara Amerika Serikat. Global Times memberitakan bahwa kebebasan navigasi yang dilakukan oleh AS secara terang-terangan telah melanggar hak-hak Tiongkok, karena melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut dengan mengancam kedaulatan dan kedaulatan Tiongkok terkait kepentingan keamanan (Dongdong, 2016). Provokasi yang dilakukan oleh AS entah berdasarkan kapal maupun pesawat militer kemudian juga memberikan dampak pada stabilitas yang sedang diusahakan oleh Tiongkok dan ASEAN. Global Times menyebutkan bahwa melalui kebebasan navigasinya ini AS berusaha "melangkah" ke wilayah yang berada di luar wilayahnya. Hal ini menyebabkan perselisihan antara Tiongkok dan ASEAN dan perubahan stabilitas regional (Kaisheng, 2020).

Selain itu, melalui artikel "US role in S.China Sea needs to be squeezed" Global Times menjelaskan bahwa peningkatan hubungan yang terjadi antara AS dan Laos serta penolakan kerjasama antara Tiongkok dan negara sekitarnya dapat berdampak pada peningkatan pengaruh AS. Meningkatnya pengaruh Washington akan membayangi aktivitas politik dan ekonomi Tiongkok di wilayah sekitarnya (Gang, 2016). Maka penting bagi Tiongkok untuk menemukan landasan bersama untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara tetangganya agar Tiongkok dapat menemukan jalan untuk melindungi kepentingannya sekaligus meningkatkan rasa saling percaya dengan negara-negara tetangganya(Gang, 2016).Maka dapat disimpulkan bahwa melalui pemberitaan yang diterbitkan oleh Global Times terkait Konflik China Selatan terdapat propaganda yang meningkatkan image Tiongkok agar lebih unggul. Melalui Global Times, Tiongkok dianggap sebagai negara yang memiliki hak di Laut China Selatan sebagai bentuk hak historisnya dan hukum sembilan garis putus yang diakuinya. Selain itu, Global Times juga melakukan media framing terhadap negara Amerika Serikat. AS dijelaskan sebagai negara yang ingin menambah ketegangan pada konflik yang terjadi di Laut China Selatan entah dengan melakukan kebebasan navigasi atau mengganggu stabilitas antara Tiongkok dan ASEAN. Tujuan AS dalam melakukan adalah mendominasi Tiongkok serta negara di sekitarnya.

Referensi:

CNN Indonesia. (2020, June 23). AS Sebut 4 Media China jadi Corong Propaganda dan Wajib Lapor. CNN Indonesia.
Dongdong, T. (2016, 1 31). US using navigation claims to stir up tension. Global Times.
Gang, D. (2016, January 27). US role in S.China Sea needs to be squeezed. Global Times.
Global Times. (n.d.). Global Times. LinkedIn.
Global Times. (2009). ABOUT US. Global Times.
Gupta, S. (2016, March 10). Beijing has case for 'historic rights' at sea. Global Times.
Kaisheng, L. (2020, August 26). US stands in the way of peace and stability in S. China Sea. Global Times.
Yang, L. (2016, 1 19). No dispute over China's historical rights. Global Times.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun