Saya bersyukur karena saya termasuk orang yang pandai bergaul. Terkadang, sampai ada teman yang mengingatkan saya untuk lebih waspada dan jangan terlalu ramah kepada orang lain, apalagi orang yang baru dikenal. Salah satu alasan yang saya sendiri sering temui ialah lawan jenis yang bawa perasaan (baper).Â
Namun, hal tersebut tidak menjadi halangan bagi saya untuk terus ramah. Semakin dewasa, semakin saya sadar bahwa saya tidak perlu mengubah sifat dan karakter saya hanya untuk menghindari lawan jenis yang baper.Â
Paling tidak hingga hari ini saya juga terus belajar dan melatih diri untuk memperbaiki cara komunikasi, memberikan batasan yang perlu ditegaskan sejak awal lewat cara perkenalan, obrolan sehari-hari, hingga terkadang harus memberikan penjelasan 'khusus' kepada teman yang terlanjur baper. Bukan sekadar menjauh atau memberikan penolakan sehingga harus menyakiti sesama.Â
Selalu ada kelebihan dan kelemahan dalam tiap diri manusia. Ada lagi kelemahan saya dalam berteman, yaitu cepat meninggalkan teman lama yang sudah jauh tidak terjangkau. Meski hari ini disuguhkan dengan beragam media sosial yang diciptakan untuk mendekatkan sesama, hal ini tidak berlaku sepenuhnya bagi saya.Â
Saya lebih suka menghabiskan waktu bersama teman secara langsung, bukan lewat layar. Saya bukan tipe teman yang akan menelepon teman lama satu persatu untuk bertukar cerita atau berkeluh kesah. Kalau ada apa-apa, paling tinggal Whatsapp saja.
Ada pula jenis teman yang dalam menunjukkan penolakan atau ketidaksukaannya dengan cara memblokir atau menghapus pertemanan dari media sosial. Karena kemudahan dan keterbukaan akses teknologi, meskipun sudah ada closure (penjelasan tegas) yang menyatakan ketidaksukaan, tetap kurang afdol rasanya kalau belum saling blokir/unfollow. Rasa-rasanya lebih mudah untuk melupakan seseorang kalau sudah tidak mengetahui aktivitas terbaru yang dilakukan oleh teman.
Tapi bukan berarti saya melupakan ketulusan dan kenangan yang pernah dilakukan bersama. Teman baik selalu menyempatkan diri untuk bertemu meski sudah lama tidak bertegur sapa. Dan kalau tidak sengaja bertemu, akan sangat menyenangkan. Seperti yang terjadi saat saya mengikuti We The Fest minggu lalu, tidak sengaja bertemu dengan teman SMP yang sudah 9 tahun tidak bertemu. Saking senangnya, kami tidak malu berteriak dan berpelukan di tempat saat menyadari bahwa pertemuan inilah yang kami impikan sejak lama.
Di sisi lain, saya punya cerita unik tentang dinamika persahabatan sesama penghuni kos. Hampir genap satu tahun nge-kos di Jakarta, saya berteman baik dengan beberapa penghuni, bahkan kami mengakui bahwa kami bersahabat.Â
Kami secara rutin mengikuti olahraga bulutangkis di lapangan yang kami sewa per-bulan. Untuk menggenapi pemain, saya juga mengundang rekan kerja saya. Akhirnya mereka pun saling kenal (antara penghuni kos dan rekan kerja saya) walaupun secara pertemanan tidak sedekat dengan saya yang sehari-hari bertemu.Â
Kedekatan sesama penghuni kos memang sudah jarang terdengar. Boleh dibilang persahabatan ini bisa terjadi karena didukung oleh interior dan suasana kos yang terkesan seperti rumah. Terdapat mezzanine yang dibuat dekat dengan dapur dimana kami bisa makan dan minum bersama atau sekadar duduk bertukar cerita sehari-hari. Kamar mandi dan dapur bersama juga membuat para penghuni pasti sering berpapasan.Â
Akhir kata, dalam kehidupan terdapat beberapa level pertemanan. Persahabatan tidak bisa dipaksa. Dalam pengalaman saya pribadi, persahabatan terjadi secara natural, ketika ada sikap saling peduli dan saling jaga. Sebab, tidak semua sahabat harus satu frekuensi dalam hal pekerjaan, hobi, maupun selera makan atau kopi.Â