Mohon tunggu...
Prajna Delfina Dwayne
Prajna Delfina Dwayne Mohon Tunggu... Penulis - Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan tahun 2022. Saat ini bekerja sebagai Legal Manager and Government Relationship di Rekosistem, perusahaan pengelolaan sampah berbasis teknologi.

Tujuan publikasi di Kompasiana untuk menggali potensi sebagai penulis, melatih metode penelitian, dan memperdalam kemampuan analisis. "Learn, unlearn, relearn"

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Illicit Enrichment dan Perampasan Aset dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

18 Maret 2022   21:45 Diperbarui: 18 Maret 2022   22:05 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tepat pada Hari Anti Korupsi Sedunia Tahun 2021, Presiden Joko Widodo menyampaikan pesan bahwa kasus Korupsi merupakan kejahatan yang memiliki dampak luar biasa sehingga juga harus ditangani secara luar biasa. Presiden juga mendorong agar dalam penindakan kasus korupsi, pemulihan aset dapat diutamakan. Salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah ialah dengan merealisasikan penetapan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana pada tahun 2022. 

Arahan Presiden pada Hari Anti Korupsi Sedunia 2021 merupakan momentum untuk  mengembangkan strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. RUU Perampasan Aset perlu diprioritaskan karena selain mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, juga dapat ditujukan untuk menelusuri pejabat yang memperoleh kekayaan secara tidak sah (Illicit Enrichment). Sebab, selama ini penegak hukum hanya fokus pada pemidanaan, tanpa mengembalikan aset yang telah dikorup kepada negara sebagiamana diatur pada UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam UU Pemberantasan Tipikor, pengaturan terkait perampasan aset masih terbatas pada: pertama, perampasan kekayaan koruptor hanya dapat dilakukan terhadap barang yang digunakan atau diperoleh dari Korupsi (Ps. 18 huruf (a)). Kedua, penggantian kerugian negara belum maksimal lantaran jumlah kerugian besar yang diakibatkan perbuatan pejabat tertentu tidak bisa dikembalikan. Sebab, hukuman tambahan berupa penggantian kerugian hanya sebesar (maksimal) yang dinikmati oleh terpidana korupsi (Ps 18 huruf (b)). Ketiga, terdapat celah hukum untuk tidak membayar uang pengganti. Keempat, pembuktian yang sulit.

Sedangkan apabila menggunakan pendekatan RUU Perampasan Aset, pemberantasan korupsi tidak hanya menjadikan pelaku sebagai target tetapi juga mengembalikan aset yang dirampas dengan strategi follow the money. 

Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pihak yang telah menandatangani dan meratifikasi UNCAC melalui UU 7/2006 tentang Pengesahan UNCAC. Akibatnya, Indonesia memiliki kewajiban untuk memiliki pengaturan khusus tentang Illicit Enrichment. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 20 UNCAC, dimana disebutkan bahwa: "each party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence". Frasa "each party shall consider adopting" memiliki makna ketentuan wajib setingkat dengan perintah. Artinya, Indonesia bertanggung jawab untuk menyiapkan prioritas langkah-langkah legislasi sebagai kewajiban setingkat perintah.

Sayangnya sejak 2009 RUU Perampasan Aset masuk dalam Program Legislasi Nasional, RUU Perampasan Aset belum mendapat perhatian lebih oleh DPR. Bahkan hingga hari dimana Presiden Joko Widodo menyatakan harapannya agar RUU Perampasan Aset dapat disahkan pada tahun 2022, RUU tersebut belum masuk ke dalam Daftar Prioritas Program Legislasi Nasional DPR 2022.  

Dony Kleden, seorang Rohaniwan dan Antropolog pernah mengungkapkan bahwa tindakan korupsi adalah sebentuk egosentrisme. Korupsi masuk dalam tindakan jahan karena gigitan dan aura chaos-nya begitu terasa serta merusak sendi-sendi penopang hidup bersama. Psikologi bawah sadar juga muncul ketika seseorang mengadakan tindakan korupsi. Setidaknya psikologi bawah sadar ini berangkat dari dua pengalaman empirik, yakni kehidupan yang buram dan kehidupan yang tamak.

Kehidupan yang buram menunjuk pada ketidakterpenuhinya hasrat di masa lalu yang kurang bahagia, apalagi orang Indonesia yang notabene adalah orang miskin. Sementara kehidupan yang tamak adalah sifat pribadi sebagai akibat dari pengaruh dari luar atau juga karena memang adanya dalam diri. Kalau psikologi bawah sadar semacam ini kuat dalam diri seseorang, maka ia melakukan korupsi dengan tetap merasa tidak bersalah.

Dari sekian banyaknya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan seolah belum cukup untuk membuat takut dan jera para pejabat negara untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sehingga, dapat disimpulkan, para pelaku memang lebih takut miskin daripada hukuman badan (penjara) dan menanggung 'malu'. Ketika setengah suara telah diberikan oleh Presiden agar RUU Perampasan Aset segera disahkan, akankah setengah lagi diberikan oleh DPR?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun