Mohon tunggu...
Cisya Naufallah
Cisya Naufallah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Politeknik Keuangan Negara STAN

sedang menempuh program studi manajemen keuangan negara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menerka Persepsi Perpajakan Ketiga Capres-Cawapres, Apa Konsekuensinya di Masa Mendatang?

28 Januari 2024   23:25 Diperbarui: 28 Januari 2024   23:30 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source : instagram.com/farisalmn

Menjelang Pemilihan Presiden 2024, ketiga bakal Capres telah mempublikasikan kepada publik terkait visi misi dan rencana program masing-masing. Bahkan beberapa isu telah diangkat menjadi topik pembicaraan debat capres-cawapres beberapa waktu lalu. Salah satunya kebijakan terkait perpajakan yang sempat menjadi perdebatan hangat dalam debat cawapres sebelumnya. Penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber APBN merupakan perwujudan pemerintah untuk memulihkan diri dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi. Oleh sebab itu, kebijakan terkait pajak menjadi salah satu media kampanye masing-masing paslon untuk mencari suara. Lantas, apa saja rencana kebijakan ketiga paslon jika terpilih sebagai presiden-wapres RI pada periode mendatang?

Paslon 01 : Menaikkan Rasio Penerimaan Pajak, Menerapkan Pajak Karbon, hingga Membentuk Badan Penerimaan Negara

Pasangan Anies Baswedan -- Muhaimin Iskandar digadang-gadang akan membangun sebuah lembaga perpajakan bernama Badan Penerimaan Negara. Implikasinya, Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai yang selama ini berperan dalam menghimpun penerimaan negara tidak lagi berada pada naungan Kementerian Keuangan, melainkan berdiri sendiri langsung di bawah naungan presiden. 

Selain itu, AMIN juga diisukan akan mengimplementasikan nilai ekonomi karbon melalui penerapan pajak karbon seperti yang telah direncanakan oleh Presiden Joko Widodo dalam rangka menuju sistem perdagangan karbon yang inklusif. Penerapan pajak karbon sendiri diterapkan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca sebagai langkah awal menyusutkan pemanasan global.

Tidak kalah penting, Anies-Muhaimin bercita-cita akan menaikkan penerimaan negara dengan memperluas basis perpajakan dan memperbaiki kepatuhan wajib pajak. Hal tersebut sejalan dengan rencananya untuk menaikkan rasio pajak yang sebelumnya berkisar 10,4 persen di tahun 2022 menjadi 13-16 persen pada 2029 mendatang.

Pasangan nomor urut satu ini juga sempat menyinggung ketimpangan atas kekayaan yang dimiliki 100 orang terkaya di Indonesia. Anies menegaskan bahwa dirinya mengedepankan perpajakan yang berkeadilan karena selama ini sistem perpajakan di Indonesia dianggap mengalami ketimpangan. 

Untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan, Anies-Muhaimin berjanji akan memastikan seluruh kebijakan terkait insentif pajak terkendali. Misalnya tax allowance, keringanan pajak penghasilan berdasarkan investasi pada bidang tertentu dan tax holiday, insentif pajak terhadap pelaku usaha yang berbentuk pengurangan hingga pembebasan pajak dalam jangka waktu tertentu.

Paslon 02 : Membebaskan Pajak bagi UMKM, Menurunkan Tarif PPH Pasal 21, hingga Ekstensifikasi dan Intensifikasi Reformasi Perpajakan

Pasangan nomor urut 2, Prabowo Gibran menargetkan rasio pajak yang lebih tinggi dari pada sebelumnya, yakni 23% terhadap PDB. Bersinggungan dengan hal itu, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjanjikan akan menurunkan tarif PPH Pasal 21 jika terpilih sebagai presiden dan wapres. 

Namun, beberapa ahli malah mengkritik kebijakan ini sebab dalam struktur penerimaan pajak yang ideal, penerimaan pajak sangat bergantung pada PPh 21 sehingga kebijakan tersebut dinilai akan menurunkan tax ratio dan tidak sejalan dengan pernyataan Gibran sebelumnya terkait kenaikan rasio perpajakan. 

Keduanya juga menjanjikan pembebasan pajak untuk UMKM yang direncanakan dilakukan dengan jangka waktu 2 tahun sejak UMKM tersebut didirikan. 

Pembebasan pajak bagi UMKM baru ini merupakan salah satu wujud ekstensifikasi pajak yang secara tidak langsung akan meningkatkan pembukaan usaha, sehingga jumlah wajib pajak juga akan bertambah.

Pada debat cawapres lalu, Gibran juga sempat mengatakan bahwa "dalam menaikkan pajak, kita tidak ingin berburu di kebun binatang, melainkan dengan memperluas kebun binatang." Ilustrasi tersebut digunakan untuk menggambarkan bagaimana sistem perpajakan selama ini diimplementasikan di negara kita. Padahal, perburuan wajib pajak semestinya juga ditujukan bagi mereka yang belum terdaftar.

 Oleh sebab itu, keduanya merencanakan pembangunan Single Identity Number (SIN) yang dikombinasikan dengan Sistem Informasi Administrasi dan Data Base Kependudukan sebagai langkah mempermudah pelacakan aset dan perpajakan penduduk Indonesia. Ketentuan ini sebenarnya telah dilaksanakan sebelumnya, namun belum berjalan dengan optimal karena kurangnya sinergi dan kerjasama semua elemen pemerintah.

Paslon 03 : Insentif Pajak Papua, Insentif Perpajakan pada Startup, serta Reformasi Perpajakan

Secara eksklusif, pasangan Ganjar-Mahfud tidak menjabarkan bagaimana strategi mereka mengenai kebijakan fiskal secara komprehensif dalam dokumen visi misinya. Janji kampanye yang dibawakan paslon nomor 03 sangatlah kontras dengan kedua paslon lain. 

Kubu Ganjar-Mahfud lebih menekankan kepada perbaikan birokrasi dan memastikan kualitas SDM yang meningkat, khususnya bagi mereka yang berhadapan langsung dengan wajib pajak. Di sudut lain, Mahfud MD tidak membahas lebih lanjut mengenai insentif perpajakan dan hanya berbicara mengenai pengetatan regulasi perpajakan. 

Menurut Ganjar Pranowo, sistem perpajakan di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Berkaitan dengan hal itu, ia mengusulkan ide mengenai reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan yang diluncurkan ialah terkait regulasi, sistem hingga kelembagaan yang berkaitan dengan peranan Direktorat Jenderal Pajak sebagai penghimpun penerimaan negara.

Sama seperti kedua paslon lainnya, Ganjar-Mahfud bermaksud akan meningkatkan rasio pajak sebesar 14%-16% nantinya. Pasangan Ganjar-Mahfud juga menjanjikan akan memberikan insentif perpajakan bagi rintisan usaha digital atau startup. 

Hal ini dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap usaha startup digital agar bisa tumbuh lebih cepat sehingga akan berdampak positif bagi perekonomian negara. Tak hanya itu, keduanya sepakat untuk memberikan insentif bagi Papua. 

Mengapa demikian? Dalam visi misinya, mereka mencetuskan akan mengatasi kesenjangan ekonomi-sosial yang ada di Papua. Karenanya, dukungan keuangan secara khusus akan difokuskan bagi masyarakat Papua, termasuk pemberian insentif pajak.

Meningkatkan Tax Ratio, Apa Implikasinya?

Tax ratio atau rasio pajak yang tinggi dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa yang sama. 

Tax ratio Indonesia dapat dikatakan cukup tertinggal apabila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, bahkan tergolong rendah jika dibandingkan dengan tax ratio milik negara maju. 

Ketiga capres-cawapres memiliki sasaran yang sama dalam meningkatkan tax ratio, hanya saja perbandingannya yang berbeda. Pasangan calon 01 dan 03 memiliki target berkisar di antara 13%-16%, sedangkan pasangan calon 02 memiliki target lebih tinggi yakni sebesar 23%.

Dalam skala internasional, peningkatan rasio pajak dapat mengubah kekuatan ekonomi Indonesia secara signifikan. Namun, beberapa pengamat pajak menilai bahwa target ratio sebesar 23% yang dicanangkan oleh pasangan capres-cawapres nomor urut dua tidak rasional karena terlampau sangat tinggi. 

Upaya meningkatkan tarif atau objek pajak memiliki efek samping, dimana pajak yang terlalu tinggi akan berdampak negatif terhadap perekonomian negara. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh Wajib Pajak sehingga dinilai kontradiktif terhadap perkembangan dunia usaha di Indonesia.

Pemisahan BPN dari Kemenkeu, Wacana Lama yang Kembali Diungkit

Gagasan mengenai Badan Penerimaan Negara bukanlah merupakan hal yang baru di Indonesia. Wacana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan sudah muncul sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid hingga Megawati Soekarno Putri. 

Pada masa transisi dari Presiden SBY ke Jokowi, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro telah merencanakan implementasi pemisahan DJP, namun terkendala di DPR karena fraksi kesulitan untuk menyampaikan Daftar Inventaris Masalah (DIM) dan ketidaksepakatan mengenai Pembentukan Badan Penerimaan Perpajakan (BPP).

Pada saat ini, Pemisahan DJP dan DJBC dari Kemenkeu sepertinya menjadi gagasan yang baik jika benar-benar dieksekusi secara matang. Mayoritas negara di dunia memang menggabungkan pengelolaan pendapatan dan belanja negara dalam sebuah departemen yang sama. Internal Revenue Service (IRS) di Amerika Serikat misalnya, dengan keberhasilan menjerat mafia serta gangster AI Capone yang terlibat kasus penghindaran pajak. Sistem yang sama juga diterapkan pada beberapa negara seperti Singapura, Australia, Malaysia, dan banyak negara berkembang lainnya di dunia. 

Meskipun demikian, keputusan restrukturisasi mengenai pemisahan DJP dan Kementerian Keuangan ini masih perlu dikaji lebih lanjut selagi DJP terus berusaha untuk meningkatkan kinerjanya dalam mengelola perpajakan di Indonesia.

Reformasi Perpajakan, Upaya Apa yang Diperlukan?

Saat ini, upaya reformasi perpajakan terus dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baik dari sisi organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi yang berbasis data, hingga regulasi perpajakan. Isu reformasi perpajakan sering digaungkan di setiap negara sebab secara global akan terjadi perubahan pada struktur pajak yang beradaptasi mengikuti zaman serta kondisi suatu negara. 

Reformasi perpajakan diperlukan untuk mengoptimalkan tingkat kepatuhan wajib pajak yang berbanding terbalik dengan target penerimaan negara yang terus meningkat setiap tahunnya. Karenanya, perlu adanya strategi yang diterapkan terhadap kebijakan pemerintah dalam bidang perpajakan.

Ketiga capres dan cawapres masing-masing mengutarakan reformasi perpajakan dengan sudut pandang yang berbeda. Terlepas dari itu, ketiga paslon menyinggung kebijakan yang sejalan, misalnya meningkatkan kepatuhan wajib pajak, memberi kenyamanan terhadap wajib pajak dan DJP selaku pemegang administrasi perpajakan, serta pembaharuan sistem perpajakan yang disesuaikan dengan kondisi terkini masyarakat. 

Meskipun strategi yang digunakan setiap pasangan capres-cawapres berbeda, konteks arah kebijakan ketiganya seiras sehingga kita tinggal melihat saja realisasinya jika salah satunya terpilih menjadi presiden pada periode mendatang.

Menjelang pemilihan presiden, saatnya kita menggunakan hak suara dengan baik sebagai bentuk kontribusi untuk membantu kandidat yang terpilih agar bisa mengaktualisasikan gagasan mereka menjadi kebijakan yang berkualitas dan berdampak positif bagi Indonesia. Sudah selayaknya kita sebagai warga negara untuk mendukung sepenuhnya program dan kebijakan presiden terpilih yang dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas perpajakan serta menjamin keberhasilan reformasi perpajakan di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun