Tak pernah terbayangkan sedikit pun bagi saya untuk diterima menjadi seorang PNS dalam usia yang relatif muda. Walaupun sekarang masih berstatus sebagai CPNS Golongan II Ruang A namun saya masih bersyukur karena saya perhatikan banyak para pelamar tes CPNS yang harus “kasak-kusuk” dan urus “sana-sini” agar dapat diterima sebagai pelayan masyarakat (jadi pelayan aja kok repot). Dengan modal ijazah SMA dan diiringi doa oang tua saya beranikan diri untuk mengadu nasib menjadi seorang PNS dengan bertarung untuk diterima sebagai seorang praja IPDN utusan Kota Bukittinggi. Banyak cemoohan dari tetangga dan teman-teman dan menganjurkan agar simpan saja niat tersebut. Buang-buang waktu, itu kata mereka. Tidak hanya dari orang-orang terdekat cemoohan itu datang, pandangan sebelah mata juga saya terima setiap saya mengurus berkas-berkas persyaratan. Ketika saya ke Puskesmas melakukan tes kesehatan , saya ditanyai “Anda orang tuanya kerja apa?”. Saya jawab “ kedua orang tua saya guru SMP”, ditanya lagi “ada kenalan di Pemda?”, saya jawab lagi “tidak ada”. “Lho, kok kamu yakin mau mendaftar IPDN?”, saya nggak menjawab apa-apa karena saya datang ke sana ingin mengecek kesehatan bukan untuk wawancara yang gak penting seperti itu. Intinya mereka ingin saya untuk membatalkan niat untuk menjadi seorang praja, percuma. Saya hanya bisa ber-pisitive thingking saja, mungkin mereka kasian jika saya nanti bagaikan seperti “pungguk merindukan bulan”. Cemoohan mereka pun memang mempunyai alasan. Alasan saya gak ada beckingan, gak ada uang buat sogok sana-sini, intinya gak ada harapan, itulah kesimpulan mereka. Hingga sekarang pun setiap pulang cuti ke daerah pertanyaan yang sering ditanyakan oleh orang-orang yang berpapasan dengan saya adalah “ orang tua mu kerja dimana?” atau “ di IPDN masih ada kekerasan nggak?”. Sebegitu kuatnya mind set tentang PNS dan IPDN yang telah tertanam di fikiran mereka. Saya hanya menjawab apa adanya. Tapi kebanyakan mereka berlalu dengan raut muka yang kurang percaya. Nggak apa-apalah, tidak mungkin saya marah kepada orang yang membayar pajak untuk saya, untuk kami.
Itulah mind set, suatu pikiran yang telah terpola dan tertanam kuat di benak masing-masing kita. Ketika mind set telah terbangun maka akan sangat sulit untuk merubahnya. Perlu suatu terobosan ekstrim untuk membangun mind set yang baru. Perlu aksi nyata dari kita sebagai abdi masyarakat untuk membuktikannya. Perubahan kecil tidak akan mempan apalagi hanya berupa slogan-slogan belaka. Mereka butuh tindakan nyata. Sudah bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun mind set masyarakat tentang citra PNS yang pemalas, tidak profesional, ingin dihormati, dan lain sebagainya terpupuk dan tertanam di pikiran mereka, bahkan juga saya. Maka ketika mereka tidak melihat adanya perubahan dari tubuh KORPRI, jangan harap mereka akan berhenti apriori terhadap kita.
Kembali ke cerita saya tadi, niat saya pun sempat goyah ketika jumlah peminat yang mendaftar di Kantor BKD Kota Bukittinggi mencapai angka 400 orang sedangkan yang kira-kira diterima (berdasarkan tahun-tahun sebelumnya) hanya tiga atau empat orang. Saya sempat berfikir seperti mereka kebanyakan, kalau cuma empat orang bisa saja satu kursi diisi oleh keluarganya pak walikota, satu lagi sama keluarganya pak sekda, satu lagi sama keluarganya pak kepala dinas, dan satu kursi terakhir mungkin diisi sama anak pengusaha kenalannya pak walikota.
Ahh,, saya sudah terlanjur mendaftar. Saya tidak ingin mengecewakan orang tua terutama cita-cita saya. Akhirnya dengan modal man jadda wa jadda saya tambah modal satu lagi, yaitu modal nekat untuk tetap menjalani proses seleksi dan akan mundur jika sudah diberitahu harus mundur karena saya percaya tidak seorang pun yang berhak mendahului keputusan Tuhan. Seleksi berbulan-bulan pun saya lalui dengan penuh lika-liku, setiap tahapan saya hadapi dengan percaya diri. Mulai dari tes wawancara, psikotest, tes kesehatan, tes kesamaptaan, tes akademik, hingga Pantukhir di Jatinangor saya lalui dengan iringan doa orang tua, ya, hanya iringan doa mereka.
Walhasil, saya dinyatakan lulus dan berhak untuk mengikuti pendidikan di Lembah Manglayang plus diangkat menjadi CPNS Golongan II a pada semester lima. Sungguh kuasa tuhan melebihi yang saya kita terlebih anggapan dari masyarakat Kota Bukittinggi, khususnya. Ternyata dari kami bertiga yang lulus dari Kota Bukittinggi tak satu orang pun yang berasal dari keluarga pejabat. Saya hanya lah seorang anak guru yang merangkap sebagai petani, teman saya yang satu nya adalah anak seorang PNS biasa di Kehutanan, satu lagi anak seorang sopir angkot, dan terakhir teman saya orang tuanya hanyalah pensiunan guru. Sungguh mereka orang tua yang hebat karena tahan dengan cemoohan orang sekitar dan doa mereka didengar oleh Yang Maha Kuasa.
Tak sepeser pun uang saya keluarkan untuk dapat berhak mengenakan seragam coklat dengan muts biru lis kuning seperti yang saya gunakan ketika menulis artikel ini kecuali mengeluarkan uang beberepa ratus ribu untuk biaya tes ini itu dan memfotokopi berbagai berkas yang disyaratkan. Tidak lebih!!.
Terima kasih Tuhan yang telah mengabulkan doa kami, terima kasih kepada jajaran pejabat di Pemda Bukittinggi yang telah membuktikan kepada masyarakat bahwa kalian amanah, terutama terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah memberikan pajaknya kepada kami tiap bulan. Tunggu kami satu tahun lagi di Lingkungan Pemerintah Kota Bukittinggi. #praja_ilham @lembahmanglayang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H