Mohon tunggu...
Teguh Ilham
Teguh Ilham Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya adalah orang Indonesia yang kebetulan lahir di Padang. Sedang menempuh Pendidikan di Jatinangor.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Burung Gereja

14 Oktober 2011   11:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:57 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dingin hawa pagi di hari Jum’at itu menambah rasa syahdu seorang lelaki muda itu. Dilihat nya setiap tetes embun yang jatuh berirama dan merembes masuk ke dalam pori-pori bumi yang tampak begitu haus akan setiap tetesan air yang jatuh. Tak ada yang tergenang percuma, semua air yang jatuh langsung meresap ke dalam kulit bumi. Cacing-cacing dan berbagai hewan tanah lainnya seolah bersuka ria dengan datang nya tetesan penyejuk dari surga itu. “Cacing- cacing itu pasti akan begitu bergembira”, mungkin begitu batin sang pemuda tersebut. Si pemuda dengan pikirannya yang masih segar mencoba untuk menggali makna dari peristiwa di pagi Jum’at itu.

Pandangannya terus bergerakke dahan pepohonan nan rindang.Tampak dua ekor tupai yang saling berkejaran. Berpindah dari satu dahan ke dahan lain dan dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon lainnya. Mereka asik sekali saling berkejaran tanpa harus terganggu dengan kedatangan burung-burung berwarna-warni yang berkicau berkelompok menyanyikan suara yang berbeda namun padu. Menambah semarak pagi itu.

***

Renungan si pemuda itu tiba-tiba buyar ketika seseorang menyapanya dari kejauhan, “Assalamualaikum, Bang. Hmm.. pagi-pagi kok udah melamun”, Hui Ling menyapa si pemuda dengan senyum khas nya. Perempuan keturunan Tionghoa tersebut menyapa Athar yang sedang duduk di serambi depan kontrakkannya.

“Waalaikum”, jawab Athar singkat sambil tersenyum simpul. Wanita tersebut juga membalas senyuman Athar dan mendekatinya untuk sekedar ngobrol basa-basi.

“Abang suka melihat pemandangan burung-burung berkicauan di pagi hari ya?” Hui Ling bertanya. “Suka..”, jawab Athar sekena nya.

“Tau gak kenapa burung-burung tersebut indah kalau dilihat dan mereka bernyanyi bersahut-sahutan walaupun berbeda jenis?”. Athar tersentak mendengar pertanyaan itu, dia tak menyangka mendapatkan pertanyaan yang sarat nilai filosofis dari mahasiswi semester dua jurusan Filsafat ini.

“Karena perbedaan itu indah”, jawabAthar berseloroh. Mata Hui menjeling. Mungkin kurang puas dengan jawaban Athar. Kelihatan bahwa jelingan mata nya itu menunjukan kedewasaan berfikir nya. Tak heran mungkin karena berhubung dia adalah seorang mahasiswi jurusan Filsafat yang selalu belajar untuk mencari sebuah hakikat.

Hui bersuara kembali, “Perbedaan itu adalah keindahan yang diciptakan Tuhan melalui ciptaannya. Semua berbeda. Kicauan mereka Dalam satu jenis burung pun tidak ada warna bulu nya yang persis sama, apalagi dengan burung yang berbeda jenis. Tuhan saja menciptakan perbedaan yang begitu indah pada burung-burung tersebut dengan penuh keserasian dan keindahan dan mereka tidak pernah merasa dengki satu sama lain tapi kebanyakan manusia tidak mau penerimaan perbedaan yang sudah ada”.

Athar terpana mendengar kata-kata yang terucap dari Hui. Ia tak menyangka tetangga yang ia tidak pernah tahu agama nya itu berkata sebijak itu. Athar hanya diam.

Hui pun pamit pulang.

***

Mesjid itu hanya lah sebuah bangunan kecil saja. Arsitektur bangunan nya masih asli seperti semenjak pertama di bangun pada tahun 1950, hanya lantai yang diganti dengan keramik putih. Dindingnya masih terlihat kokoh walaupun sudah sangat sering diguncang gempa. Tak banyak yang berubah. Ukuran mesjid yang hanya mampu menampung sekitar 60 jemaah semenjak didirikan tak membuat pengurus mesjid harus merencanakan melakukan pelebaran. Sia-sia, ternyata tidak ada hubungan antara bertambahnya jumlah penduduk dengan bertambahnya jumlah jemaah mesjid di kampung ini, mungkin itu pikir mereka.

Namun, halaman Mesjid tua tersebut sangat lah luas dengan sebuah pohon Ketapang besar yang rindang di depan nya. Mungkin pohon itu seusia dengan mesjid itu.

Ketika mentari mulai menerangi bumi, Mesjid itu seolah tidak pernah absen dikunjungi oleh gerombolan burung gereja yang dengan riang gembira berkejaran dan bertengger di atas pohon Ketapang itu, mencari makan di halaman Mesjid yang luas dan bermalam di kubah Mesjid ketika malam datang. Kelihatan nya kawanan burung gereja tersebut bersyukur sekali dengan keberadaan Mesjid tersebut.

***

Seperti Jum’at-Jum’at biasa nya, di waktu Dhuha ini Athar mempersiapkan diri nya untuk melaksanakan ibadah shalat Jum’at di Mesjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah nya.Baginya hari Jum’at merupakan hari libur karena tidak ada jadwal perkuliahan pada hari itu. Ia lebih leluasa untuk mempersiapkan diri nya untuk melaksanakan ibadah yang khusus bagi kaum adam ini.

Siang itu mentari tak terlalu garang memancarkan panas nya ke bumi. Sebelum pergi ke mesjid Athar menyempatkan pergi berjalan-jalan terlebih dahulu menikmati lingkungan sekitar tempat tinggal nya. Membantu para warga yang ditemui di jalan jikalau dibutuhkan atau hanya sekedar menyapa mereka dengan ramah.

Athar pun sampai di depan gerbang Mesjid. Kawanan burung Gereja yang sedari tadi berkumpul di tengah-tengah lapangan akhirnya terbang hambur seolah tak mau menghalangi jalan Athar dan mempersilahkan nya memasuki mesjid.

“Benar-benar makhluk yang penuh toleransi”, begitu fikir Athar sambil tersenyum.

Setengah Jam Sebelum Azan Pertama Salat Jum’at

Athar adalah orang ketiga yang memasuki mesjid itu untuk melaksanakan salat Jum’at. Sedikit kalah cepat dengan pak Karim, sang ketua pengurus mesjid dan pak Tamim, seorang tokoh masyarakat yang mendapatkan giliran untuk menjadi Khatib kali ini.

Tak berselang beberapa lama berdatangan lah para tamu Allah yang di Mesjid tua itu, jumlahnya lumayan banyak, setidaknya jauh lebih banyak dari jemaah salat Subuh.

***

Pak Tamim pun naik mimbar dan mulai menyampaikan khutbah nya.

Setelah mengucapkan salam dan memanjatkan puji-pujian kepada tuhan sampai lah beliau kepada inti khutbah nya dengan menyebutkan suatu ayat,

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesunggunya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Athar kelihatan sangat tertarik dengan ayat tersebut, entah karena materinya entah karena Pak Tamim menyampaikan khutbah nya dengan penuh semangat dan berapi-api. Banyak dari jemaah yang kelihatan antusias mendengarkan khutbah yang disampaikan namun ada juga beberapa di antara mereka yang tertidur dengan kepala tertunduk. Lambaian angin yang masuk melewati jendela tak berkaca itu lebih kuat pengaruhnya daripada orasi dari sang khatib, sepertinya.

***

Seperti biasa, setelah salat Jum’at Athar menyempatkan untuk mampir dulu di warung Bang Maman untuk sekedar ngopi dan ngobrol dengan teman-teman dan warga satu komplek nya.

“Telah terjadi bom bunuh diri di dalam sebuah Gereja yang menewaskan empat orang, hingga saat ini belum diketahui identitas pelaku bom bunuh diri tersebut”, sebuah berita duka terdengar dari televisi di warung Bang Maman tersebut.

“Siapa pula tu yang bikin onar?”, Pak haji Azhar memulai untuk mengomentari berita tersebut.

“Entah doktrin dari mana yang membuat dia begitu yakin akan masuk surga dengan membunuh orang”, Bang Ramli juga langsung mengeluarkan argumentasi nya.

“Hmm... padahal Allah telah menuliskan dengan jelas dalam Al Qur’an seperti dalam ayat yang disampaikan oleh khatib tadi untuk tidak menganggu orang yang beragama lain jika mereka tidak memerangi kita”, Athar mencoba mengingat-ingat kembali penyampaian Pak Tamim sewaktu beliau berkhutbah tadi.

“Mungkin saja orang yang mengebom itu adalah orang yang tak beragama, atau mungkin saja orang yang mengebom itu adalah orang yang tidak waras, atau mungkin saja orang yang mengebom itu adalah salah satu dari jemaah yang tertidur ketika pak Tamim menyampaikan khutbahnya tadi”, Pak Haidir tak mau ketinggalan berpendapat. Seisi warung tersenyum ketika mendengar kemungkinan yang terakhir tadi.

***

Burung-burung gereja masih tetap berterbangan seperti biasa di halaman mesjid kecil itu. Terbang, berkejaran berkelompok dan masih tetap setia dengan pohon Ketapang ketika mereka lelah. Tak ada yang menganggu, mereka kelihatan nyaman hidup di sana. Kumpulan makhluk kecil tersebut membuat suasana mesjid menjadi semarak. Mereka tak menganggu dan merasa terganggu ketika ada jemaah yang bertamu ke rumah tuhan tersebut, tuhan nya para manusia, tuhan mereka juga. Mereka memang penuh toleransi kepada manusia.

Seseorang berjalan pelan memasuki halaman mesjid tua itu, tangan kanan nya mengenggam suatu barang yang mencurigakan dalam kantong kresek hitam.

Seperti biasanya, burung-burung gereja di halaman mesjid itu pun berterbangan karena melihat ada orang yang datang. Laki-laki itu berhenti di teras mesjid dan mengeluarkan sesuatu dari dalam kresek hitam yang dibawanya dengan pelan-pelan.

Tiba-tiba burung-burung gereja yang tadi berterbangan kembali berkumpul di halaman mesjid kecil itu, semakin lama semakin ramai.

Ternyata Athar, lelaki yang datang itu, mengeluarkan segenggap padi dari dalam kresek hitam nya.

Ilham Simabua

Jatinangor, 12 Oktober 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun