Pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, yang menegaskan bahwa revisi UU TNI tidak berhubungan dengan kembalinya dwifungsi ABRI patut diapresiasi. Dwifungsi ABRI, yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru, merupakan kebijakan yang menempatkan militer tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan tetapi juga sebagai pengendali kekuasaan negara. Kebijakan ini sudah tidak relevan dengan era demokrasi saat ini yang mengedepankan supremasi sipil. Dengan demikian, klarifikasi Dasco yang menegaskan bahwa DPR tetap berkomitmen menjaga supremasi sipil merupakan langkah penting dalam menjaga stabilitas demokrasi Indonesia.
Dalam penjelasannya, Dasco menyoroti bahwa revisi UU TNI hanya mencakup tiga pasal, yaitu Pasal 3 tentang kedudukan TNI, Pasal 53 tentang usia pensiun TNI, dan Pasal 47 tentang posisi yang dapat diisi oleh prajurit TNI di kementerian atau lembaga tertentu. Penegasan ini penting untuk meluruskan informasi yang berkembang di masyarakat. Draf yang beredar di media sosial kerap menimbulkan kekhawatiran tidak berdasar, sehingga pernyataan Dasco menegaskan bahwa kekhawatiran terkait kembalinya dwifungsi TNI adalah berlebihan. Masyarakat perlu memahami bahwa substansi revisi UU TNI tidak mengarah pada pelemahan supremasi sipil, melainkan lebih kepada penyesuaian regulasi demi profesionalisme TNI.
Penjelasan Dasco tersebut sekaligus mengingatkan publik agar lebih selektif dalam menerima informasi, terutama yang beredar di media sosial. Dalam dinamika politik yang kerap memunculkan narasi provokatif, sangat penting untuk menelaah informasi dari sumber yang kredibel. DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa setiap revisi undang-undang sesuai dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Oleh karena itu, publik diimbau untuk menunggu hasil pembahasan secara resmi tanpa terprovokasi isu-isu yang tidak sesuai fakta.
Komitmen DPR dalam menjaga supremasi sipil di tengah pembahasan revisi UU TNI merupakan bukti bahwa Indonesia tetap berada di jalur demokrasi yang sehat. Dengan hanya tiga pasal yang dibahas, yaitu terkait kedudukan TNI, batas usia pensiun, dan posisi prajurit di kementerian atau lembaga, revisi ini justru mencerminkan upaya pemerintah untuk memperkuat profesionalisme TNI tanpa melibatkan mereka dalam ranah politik praktis. Langkah ini seharusnya dilihat sebagai upaya untuk menyesuaikan aturan sesuai kebutuhan zaman, bukan sebagai langkah mundur menuju masa lalu yang penuh kontroversi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI