Ini kedua kalinya aku membaca novel Tuesday with Morrie karya Mitch Albom. Tebak apa yang terjadi? keduanya selalu berakhir dengan air mata. Novel ini tidak terlalu panjang, namun 188 halamannya akan membawamu ke sudut lain kehidupan. Aku membacanya di kereta saat perjalanan kembali ke Jakarta. Menurutku kau harus mencobanya juga. Oh, tentu tidak harus di kereta pula. Mungkin saat sore hari ketika kau muak dengan beberapa jam sebelumnya yang kau lalui, beberapa saat sebelum tidur, ketika hujan di pagi hari, dan waktu-waktu favoritmu sendiri. Aku tahu kau pasti mempunyainya.
Novel Tuesday with Morrie menceritakan tentang pertemuan kembali antara Mitch, penulis buku ini, dengan dosennya yang bernama Morrie setelah sekian lama tidak bertemu sejak hari kelulusan. Pertemuan itu berawal dari ketidaksengajaan Mitch mendapati Morrie tampil di sebuah acara TV untuk melakukan wawancara. Wawancara tentang bagaimana Morrie mencari makna kehidupan dan kematian di antara penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang tengah dideritanya. Sejak saat itu Mitch memutuskan berkunjung ke rumah Morrie. Kunjungan itu akan menjadi beberapa kunjungan kemudian, di mana mereka memutuskan untuk mengadakan kelas terakhir mereka setiap hari Selasa seperti saat di universitas dulu. Setiap pertemuan membahas topik yang berbeda mengenai makna kehidupan seperti kematian, penyesalan, pernikahan, uang dan lain sebagainya.
Terlepas dari fakta bahwa buku ini diterbitkan lebih dari dua puluh tahun lalu, berbagai pembicaraan di dalamnya masih sangat sesuai dengan keadaan saat ini. Morrie, yang lebih ‘hidup’ daripada kebanyakan orang, menyadarkan kita tentang berbagai hal kecil yang ternyata krusial dalam kehidupan. Tentang bagaimana kita memperlakukan seseorang, bagaimana kita menyikapi budaya yang ada saat ini hingga bagaimana kita menghadapi berbagai emosi. Dia benar-benar membantu membuka batasan yang kita ciptakan sendiri.
Buku ini adalah salah satu buku terbaik yang kumiliki. Terkadang di beberapa halaman kau akan berhenti membaca, menutup buku sejenak hanya untuk memandang sekelilingmu – dalam kasusku, aku memperhatikan pemandangan di luar jendela kereta. Setelah sepersekian detik kemudian kau akan tertawa, menyadari betapa banyak hal yang kau lewatkan adalah kehidupan itu sendiri. Terima kasih Mitch, sudah menulis buku ini. Dan Morrie, senang mengenalmu.
Selamat membaca!
“Love wins. Love always wins.” (hal. 40)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H