Aku menjadikan Norwegian Wood sebagai buku pertama yang selesai kubaca tahun ini. Sempat bulan Desember tahun lalu aku membacanya, tapi berhenti dan baru kulanjutkan lagi beberapa hari lalu. Setelah selesai membaca aku merasakan hal aneh yang belum pernah kualami dari pengalaman membaca buku sebelumnya. Rasanya seakan aku berjalan di samping Toru Watanabe dan mendengarkan ceritanya. Atau sedang minum kopi di kafe sudut jalan yang sepi dan dia duduk di hadapanku sambil bercerita. Aneh ya, tapi memang seperti itu.
Norwegian Wood milik The Beatles menjadi lagu yang selalu kudengarkan minggu ini – bersamaan dengan Stand By Me milik Oasis. Menurutku lagu itu tidak menggambarkan keseluruhan cerita Haruki Mukarami ini, namun beberapa adegan krusial dalam novel seakan punya peraturan seperti “Harap Dibaca Sambil Memutar Norwegian Wood Milik The Beatles” dan itu terasa fantastis.
Pada awalnya Toru Watanabe sedang berada di pesawat dalam perjalanan ke Jerman ketika lagu Norwegian Wood diputar tiba-tiba. Tepat seketika itu masa lalunya mengajak berselancar dan tenggelam lagi. Naoko orang pertama yang datang. Gadis itu, aroma padang rumput, terpaan angin, dan Toru Watanabe yang ada disampingnya terasa begitu nyata. Naoko adalah kekasih sahabatnya, Kizuki, sewaktu SMA. Mereka bertiga selalu bersama, ya sewajar remaja pada umumnya. Namun kematian Kizuki yang mendadak dan tanpa alasan itu membuat hidup mereka menjadi aneh. Entahlah, rasanya seakan dulu adalah dunia lain yang jauh di sana. Keduanya selalu terkenang akan Kizuki hingga saat mereka telah masuk universitas. Sudut-sudut kota Tokyo yang mereka lewati dan beberapa tempat yang mereka datangi tak bisa memudarkan Kizuki. Selain itu, kebersamaan dengan Naoko membuatnya sadar bahwa dia menyukai gadis itu.
Suatu malam saat ulang tahun Naoko terasa rumit. Perasaan diantara keduanya mengambang di udara, berpencar, lalu meledak seperti kembang api dan menghilang. Aku sendiri bingung bagaimana menjelaskannya. Lalu beberapa waktu setelah kejadian malam itu, Naoko memberi kabar bahwa dia menjalani rehabilitasi akibat gangguan psikis yang dialaminya,di suatu tempat di pegunungan Kyoto. Sejak saat itu mereka berhubungan dengan saling berkirim surat.
Kehidupan universitas Toru Watanabe terlihat mengalir begitu saja. Teman kamar asrama, Si Kopasgat, yang menyebalkan sekaligus menghibur, menjadi topik lucu pada surat-surat yang dikirimkannya kepada Naoko. Nagasawa-san yang mempunyai sistem hidupnya sendiri, mengenalkannya pada dunia malam dan pergaulan bebas. Lalu ada Midori, gadis unik dengan dunianya sendiri. Cara berpikir dan penampilannya yang nyentrik mempunyai tempat tersendiri di kehidupan Toru Watanabe. Dan tanpa disadari, gadis itu telah menggali tempatnya sendiri di hati Toru Watanabe.
Pada suatu kesempatan mengunjungi Naoko, dia bertemu Reiko. Wanita pertengahan 30 tahun yang menjadi teman sekamar Naoko. Perbincangan ketiganya di rumah tengah hutan pada tempat rehabilitasi dan alunan petikan gitar Norwegan Wood milik The Beatles yang dimainkan Reiko menjadi momen yang mengikat pembaca dengan kehidupan didalamnya.
Kita diajak menggali lebih dalam apa sebenarnya yang diinginkan Toru Watanabe, apa yang bisa dia perbuat terhadap hidup yang mengendalikannya ini. Keputusan-keputusan yang membuatnya semakin dewasa sangat pas dengan kenyataan sehari-hari. Bagaimana cara masing-masing tokoh berhadapan dengan kematian menyajikan makna tersendiri pada novel ini. Akhir cerita cukup bersifat terbuka, namun itu membuat kita lebih mengerti dengan pilihan yang diambil tokoh.
Haruki Murakami menemukan ramuan yang tepat untuk membuat novel ini hidup. Dengar-dengar ya, novel ini ada pada setiap rak buku yang ada di rumah di Jepang. Cara beliau menggambarkan segala tempat yang ada di novel menggunakan semua indera tubuh kita sangat berhasil. Seakan kita membaca sambil berpindah-pindah tempat sesuai adegan yang dibaca. Aku bahkan bisa membayangkan rumah kayu tempat Naoko menjalani rehablitasi, asrama Toru Watanabe, rumah makan tempat Nagasawa dan kekasihnya beradu mulut, hingga saat Midori dan Toru melihat kebakaran dari tempat penjemuran di rumah Midori.
Ah, aku kurang mengerti tentang suasana politik Jepang pada 1960an yang digambarkan di awal, namun itu bukan masalah. Kupikir Haruki Murakami akan memakluminya.
“Mungkin aku belum bisa beradaptasi dengan dunia” (hal. 251)
Selamat membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H