Mohon tunggu...
Humaniora

Romantisme '212' di Negara yang Rindu Permusuhan

18 Januari 2017   17:21 Diperbarui: 18 Januari 2017   17:29 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia, seolah tidak habis Negara ini menghadapi cobaannya. Tragedi nasional yang tak henti, bencana dimana-mana, dan yang terbaru adalah masyarakatnya yang mulai menyukai permusuhan menjadi isu nasional akhir-akhir ini. Bukan main pelik permasalahan yang harus dihadapi bangsa ini. Seolah penderitaan beratus tahun dijajah belum cukup, bahkan saat kemerdekaan sudah digenggaman. Mungkin benar apa yang diteorikan oleh George Simmel bahwa "Menuju Masyarakat yang Bersatu Selalu Dibutuhkan Konflik".

Tetapi sayangnya saat ini Indonesia sedang dalam dilema perpecahan. Itulah mungkin status siaga yang harus diwaspadai seantero nusantara. Disulut dari satu kisah tentang penistaan agama yang “ndilalah”dilakukan oleh figur yang memang kontrofersial sejak awal, Negara ini kemudian digiring kelembah hitam permusuhan.

Sebuah aksi besar yang mengatasnamakan aksi damai dihadiri oleh ratusan ribu umat Islam digelar sebagai sikap atas tudingan telah terjadi penistaan agama. Dihelat di Jakarta dengan nama aksi damai 212 karena bertepatan dengan tanggal 2 bulan Desember, ratusan ribu orang membanjiri Monas. Mata dunia terbelalak dengan begitu dasyatnya aksi ini. Indonesia bergejolak dengan adanya pergerakan ini. Lalu apa yang terjadi setelahnya? Apa efeknya bagi tatanan negeri ini?

Dapat penulis katakan bahwa salut terhadap aksi 212 yang menjadi bukti bersatunya umat Islam di Indonesia, serta membuktikan damainya Islam. Hanya saja romantisme terhadap aksi 212 tersebut justru mengarah kepada hal negatif, bahkan memicu intoleransi ditengah masyarakat Indonesia. Hal itu tidak terlepas dari keberadaan pihak-pihak yang memanfaatkan momentum pasca aksi 212 untuk kepentingan kelompoknya. Degradasi identitas masyarakat Indonesia yang masih suka ikut-ikutan atau "latah" pun membuat kelompok kepentingan, khususnya Islam Radikal mendapatkan panggungnya

Romantisme aksi 212 akhirnya bergeser ke arah negatif yang kemudian mampu menjadikan bangsa Indonesia menjadi begitu bergejolak. Perang cyber yang memiliki efek dogmatis yang mengerikan pun semakin memperkeruh situasi negara ini. Label "Negara yang Rindu Permusuhan" pun semakin melekat pada Indonesia, dan seluruh masyarakat begitu terlarut dengan situasi permusuhan saat ini. 

Sebagaimana yang selalu dicita-citakan oleh pendiri negeri ini, yaitu menjadi masyarakat madani, seolah semakin jauh dari realitas. Masyarakat seolah begitu suka dan tenggelam pada permusuhan. Manusia begitu haus akan konflik dan berusaha mendapatkan panggung ditengah-tengahnya. Dan hal ini sangat mengkhawatirkan.

Karenanya, masyarakat Indonesia harus diajarkan tentang Bahasa Perdamaian. Tentang apa yang lebih bernilai dibandingkan kebencian dan tentang betapa mahal harga yang harus dibayar untuk mencapai harmoni. Bila sulit untuk peduli pada Negara ini, cukup dengan menahan diri untuk tidak mengobarkan berita hoax.

Jika sulit untuk menghormati orang lain, maka cukup dengan menahan diri dengan diam. Kebencian seperti api, dan respon kita mungkin bisa menjadi minyak tanah yang akan semakin mengobarkannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun