David Harvey dalam tulisannya Globalization: Time and Space compression menyebutkan bahwa globalisasi adalah symbol tidak berartinya lagi jarak dan waktu karena semua bisa dilakukan tanpa batas dan dengan cepat. Globalisasi telah menghilangkan batas. Semua orang dapat berinteraksi secara langsung melalui internet dan disanalah muncul medan pertarungan baru yaitu dunia maya (cyber). Kita tidak akan membahas tentang cyber war dalam tataran high politik, tapi disini kita akan banyak berbicara tentang cyber war dalam taraf low politic tetapi memiliki impact yang massive untuk suatu Negara.
Indonesia, masyarakatnya baru “melek” internet dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Bahkan semua channel social media selalu laku keras di download oleh masyarakat Indonesia. Facebook, Path, Instagram Twitter menjadi wadah masyarakat untuk berinteraksi dengan orang lain dewasa ini. Hal ini positive saat ternyata banyak orang jomblo bisa bertemu pasangannya melalui facebook dan “om telolet om” menjadi go international. Tetapi menjadi negative saat yang dilakukan di media social adalah penyebaran isu bohong atau lebih dikenal dengan Hoax yang ternyata sangat jitu menyebarkan kebencian.
Sejak terjadinya aksi 411 kemudian disusul dengan aksi 212, media social menjadi arena yang sangat ramai saat semua orang berlomba-lomba menyuarakan pendapatnya, men-share apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah dan eskalasinya semakin meningkat. Dua orang sahabat bahkan serta merta bisa saling membenci saat ternyata satu diantaranya kontra terhadap aksi tersebut dan terjadilah un-friend dan un-follow massive di negeri ini. Banyak bola-bola panas penuh kontroversi digulirkan dan dengan mudah dilahap oleh “netizen” di Indonesia yang berefek apa berubahnya paradigm mereka tentang suatu hal.
Yang masih segar diingatan, pernyataan Ahok tentang “dibohongi pakai Al-Quran” dalam kasus penistaan agama, bahkan kata “pakai” saja telah memecah belah masyarakat Indonesia menjadi 2 golongan. Masyakarat mudah merespon semua berita yang disebarkan tanpa peduli hal tersebut benar atau salah. Dan aktifnya masyarakat di dunia maya kemudian menjadi sasaran empuk digulirkannya isu-isu hoax, hasutan-hasutan yang salah, ajakan-ajakan bodoh dan pembentukan persepsi yang menyesatkan. Entah sudah berapa banyak orang yang tersesat akibat berita bohong di social media. Kemudian mereka yang masih berotak waras berusaha untuk mengembalikan kesadaran masyarakat melalui peringatan-peringatan dan ajakan-ajakan balasan.
Media social telah benar-benar menjadi medan pertempuran pemikiran. Bahkan karena merasa terancam, pendukung radikalisme kemudian membuat “Laskar Cyber” yang tujuannya untuk membombardir social media dengan slogan-slogan radikal, fitnah-fitnah, janji perdamaian palsu dan hasutan yang tak berdasar. Indonesia sungguh harus bersiaga dalam hal ini, karena jangan pernah meremehkan kekuatan social media yang lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan pemerintahan.
Perang antara si benar dan si salah di social media harus bisa ditangani oleh pemerintah dengan baik dan sama kuat. Tidak omong kosong upaya pencerdasan bangsa harus benar-benar digalakkan dalam kasus ini agar masyarakat jauh dari berita palsu. Bila dibiarkan, kebohongan dan kebencian akan merajalela dan pemerintah dapat kehilangan kontrolnya. Mungkin perlu “Cyber Warrior” untuk memberangus Laskar Cyber si penebar permusuhan di social media. Pemerintah harus tegas dalam hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H