Mohon tunggu...
Humaniora

Ironi Negara Para 'Latah'

17 Januari 2017   13:00 Diperbarui: 17 Januari 2017   13:10 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai manusia di Indonesia, kreatif bukanlah kurikulum disekolah-sekolah sehingga plagiat ada dimana-mana. Masih teringat dengan jelas diingatan bahwa artis dan film Indonesia banyak diboikot dan dituntut permintaan maaf dari luar negeri atas karya plagiat yang mereka ciptakan. Karenanya, selamat datang di negeri para latah, negeri yang KW bahkan lebih laris dari aslinya, dan orang sudah tidak peduli apakah itu KW atau asli yang penting hits. Inilah yang mengkhawatirkan.

Maha dasyatnya efek yang ditimbulkan oleh aksi 212 ini menginspirasi banyak kalangan latah untuk membuat aksi tandingan. Salah satunya yang kebetulan cukup dekat tanggalnya dengan 212 adalah aksi yang dilakukan pada 4 Desember 2016 yang menyebut dirinya aksi “Kita Indonesia” dengan lebel 412. Menggelikan, aksi yang dilakukan di acara Car Free Day ini terlihat begitu banyak dihadiri masa yang kebetulan memang ingin berolahraga atau berkumpul dengan keluarga di momen Car Free Day.

Yang cukup disayangkan juga, aksi yang katanya “Kita Indonesia” ini malah berubah menjadi “Kita Nasdem” karena banyaknya atribut partai tersebut digunakan disepanjang acara. Aksi ini berjalan damai meskipun banyak yang kecewa karena penonton bayaran yang tidak mendapatkan hak sesuai dengan janji ketua kelompoknya atau karyawan yang dengan terpaksa berpanas-panasan demi mempertahankan posisinya dikantor. Seolah apapun dilakukan untuk bisa mengerahkan massa, dan yang cukup menggelikan adalah dibajaknya Bus Trans Jakarta sebegai Bus yang disewa untuk memuat masa ke Bundaran HI agar terlihat ramai. Isi orasinya tidak jauh-jauh dari pesan tersirat “mari kita tetap dukung si ehem”. Yang penting ikut-ikutan. Aksi tandingankah?

Kondisi semakin memanas dengan beredarnya video dimana Sang Habib Rizieq dianggap menistakan Yesus. Dalam ceramahnya, Rizieq menyebutkan bahwa apabila Tuhan memiliki anak, maka siapa bidannya? Tentu hal ini menyulut emosi pemeluk agama kristiani yang kabarnya mereka akan menggalang masa dan turun kejalan atas nama umat kristiani untuk meminta Habib Rizieq mempertanggung jawabkan perkataannya yang telah dianggap menistakan Yesus. Tetapi hingga tulisan ini dibuat, belum ada konfirmasi lebih lanjut dengan aksi turun dijalan. Mungkinkah mereka sedang mencari tanggal yang tepat agar julukan untuk aksinya terlihat keren. Kita tunggu saja.

Tetapi, dari semua itu, hal yang paling mengecewakan penulis adalah aksi 121 yang dilakukan oleh Mahasiswa di 19 Kota di Indonesia. Seolah mahasiswa kini sudah kehilangan identitasnya dan memilih menggunakan nama aksi yang hits saja untuk mendapatkan perhatian. Haruskah? Telah lama mahasiswa tidak bersatu dalam jumlah yang cukup besar untuk turun ke jalan menyuarakan aspirasinya. Masyarakat menunggu dan rindu pada kaum intelektual satu ini yang kelak diharapkan menjadi penerus bangsa. Hingga akhirnya aksi 121 menjadi debut kembalinya mahasiswa ke jalan untuk mengkritisi pemerintah yang baru-baru ini sedang hobi menaikkan harga-harga. Tapi, apakah tepat sasaran?

Sebelum aksi, para mahasiswa ini telah diundang untuk melakukan diskusi di stasiun-stasiun TV tetapi yang terjadi kemudian adalah pertunjukan pola pikir mereka yang mengada-ada dan menggunakan dasar rumor yang berhembus melalui sosial media. Aksi mereka pun diwarnai dengan upaya pembakaran ban yang entah tradisi dari mana dan apa hubungannya dengan aspirasi. Saat ditanyakan tentang tujuan aksi pun mereka masih terbata-bata dan tidak jelas arah pembicaraanya. Menyedihkan, saat mahasiswa, sang harapan bangsa akhirnya kembali turun ke jalan untuk sesuatu yang bahkan belum mereka pahami. Mereka kemudian menjadi bahan lelucon atas statement lugu mereka di depan TV. Aksi yang banyak dijadikan harapan tersebut ujung-ujungnya malah dianggap ikut-ikutan saja. Biar makin ramai negeri ini. Banyaklah membaca wahai generasi harapan, janganlah mudah termakan Hoax.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun