Mohon tunggu...
Pradipa Farrel Permana
Pradipa Farrel Permana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mengakui bahwa sastra itu nyata eloknya seorang penulis yang saat ini sedang menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Pendek: Hujan

8 Desember 2022   09:00 Diperbarui: 8 Desember 2022   09:04 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan

Karya oleh Pradipa Farrel Permana

Setiap pagi, cuaca di rumahku selalu buruk. Angin yang sangat kencang, badai berdatangan, semua telah runtuh, membuatku sulit untuk menjauhinya. ketika hujan reda , ada saja petir menghantam. Setiap hari aku menanyakan hal yang sama ke diriku "Apakah mereka tidak ingin menghilangkan hujan itu?". Setiap hari aku menanyakan hal itu disertai rintik - rintik di diriku, dengan genangan - genangan yang tercipta.  Setiap genangan yang dihasilkan, selalu membekas seakan -- akan genangan tersebut tidak pernah hilang.

Baca juga: Puisi: Teman?

 Di setiap malam, gemuruh hujan petir selalu didatangkan oleh mereka. Prak!!!! Petir menyambar dimana - mana, awan menggelap, keadaan semakin kacau, semua barang  tumbang karena - Nya, seolah - olah Bumi sedang menangis disertai dengan kemurkaan. Bukan karena penghuni di dalamnya, namun hanya ingin melampiaskan apa yang dialami oleh mereka. Aku tidak bisa berbuat apa -- apa, hanya dapat mendengar petir yang akan menghancurkan segalanya, dan mencari apa yang aku sendiri tidak tau akan kebenarannya.

Di kala itu, aku mencari tau, apakah ini hanya terjadi pada ku? Saat aku keluar, aku melihat samping rumahku yang dihiasi oleh gugurnya dedaunan, teriknya matahari yang sedang berbahagia, kedamaian, ketenangan, keamanan, dan kenyamanan terlihat. Sontak aku menanyakan kepada diriku "mengapa rumah aku berbeda dengan yang lain?". Namun, disaat itu juga aku mengetahui jawaban dari pertanyaan yang kutanyakan ke diriku ini.

Beberapa hari berlalu, aku memahami tentang apa saja yang terjadi selama ini. Ternyata,  ini bukan rumah sesungguhnya, bukan rumah yang diimpikan oleh semua orang. Goresan air yang ada dimana - mana, menajam, disertai dengan darah yang bermunculan, genangan air yang selalu meninggalkan bekas dilantai rumah, bekas kilatan petir, dengan suara kilat yang tidak ada hentinya. Ini bukan rumah sesungguhnya. Ini bukan rumah yang diinginkan oleh orang - orang. Aku tidak bisa merubahnya, aku hanya bisa diam dan diam.

Sejak saat itu, aku selalu berdoa, mengharapkan kemarau tiba, mendatangkan kenyamanan, dan kedamaian. Namun, hal itu akan datang disaat semua telah berakhir. Walaupun orang lain memerlukan hujan, sepertinya aku tidak memerlukannya.  Disaat itu, aku meyakini bahwa hujan tidak pernah mengisi kebahagiaan ku. Mereka selalu saja mendatangkan hujan yang membuat kesedihan di dalam diriku. muak akan segala hal yang terjadi, sehingga merasa  ingin menghilangkan sesuatu yang dikatakan penting oleh sang pencipta.

Disaat hal itu sulit untuk terjadi, aku hanya mengharapkan pelangi yang muncul ketika hujan telah berlalu.  Walaupun pelangi datang tak menentu, hanya itu yang bisa aku harapkan di dunia ini. Bila pelangi tidak datang, aku hanya bisa berdiam diri, melihat apa yang telah hujan perbuat, mengalami kesedihan yang bertubi tubi. Bila semua ini tidak dapat berakhir, aku berharap aku dapat berakhir karena - Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun