Hari itu harus bangun lebih pagi dari biasanya. Lekas bergegas dan segera menuju utara Jakarta. Perjalanan yang harus membelah kota Jakarta untuk menuju Pelabuhan Muara Angke. Di sanalah kita akan berkumpul, dan dari sanalah kita akan bersama-sama berangkat menuju Kepulauan Seribu. Kita akan menyebrang dengan kapal umum yang pastinya merupakan trasportasi utama warga Kep. Seribu yang ingin berdagang atau sekedar berkunjung ke Jakarta.
Cuaca sedikit berawan mengingat saat itu, pertengahan Januari 2015, curah hujan memang sedang tinggi. Minggu sebelumnya pun, ada teman yang harus menunda perjalanan pulang ke Jakarta karena cuaca buruk.
Tiba juga akhirnya di Muara Angke. Dari pintu gerbang, kita berjalan melewati tempat pengolahan hasil laut untuk menuju dermaga. Baunya sangat menyengat. Dari bau amis ikan, bau tanah yang becek, bau got yang saya yakin segala jenis bau mengendap disana, plus bau knalpot angkutan bercampur menciptakan mual di perut.
[caption id="attachment_359436" align="aligncenter" width="504" caption="Pengolahan Hasil Laut - Muara Angke"][/caption]
Kep. Seribu bisa dikatakan sebagai oase dari wisata yang serba buatan yang ada di Jakarta. Secara administrasi, Kep. Seribu masuk wilayah Jakarta. Disebut juga kabupaten administrasi. Potensinya bagi perkembangan industri cukup besar, yaitu pada bidang pertambangan, perikanan dan pariwisata. Jumlah pulaunya memang tidak 1000, hanya ada 342 pulau. Gugusannya menghadap ke Teluk Jakarta yang kondisi airnya bagai bumi dan langit dengan kondisi di sekitar Kep. Seribu.
Kapal mulai bergerak, dan dengan sedih harus ada hujan yang mengiringi. Semoga tidak deras. Kapal mengarungi air laut yang warnanya sama sekali tidak terbayang oleh saya saat diminta menggambar pemandangan laut saat SD. Warnanya hitam, pekat sekali. Mengkilap oleh minyak sisa tambang atau solar kapal. Tak perlu ditanyakan, baunya pasti busuk. Ikan yang hidup disana (kalau ada) pasti ikan preman, dengan tato di sisiknya dan suka memalak. Mungkin begal.
Tetapi ironisnya, di televisi ada iklan apartemen di daerah sana dengan fasilitas “view laut”. Semoga pengelolanya memeberikan layanan binocular agar dapat melihat laut biru di jauh sana. Bukan teluk hitam dan kapal tambang yang kotak.
Di perjalanan, awalanya kita happy-happy, tapi kemudian kapal berhenti entah kenapa. Jadilah bahtera tua itu santapan gelombang laut. Lambung kapal seperti di kocok-kocok, begitu juga lambung saya dan tiga teman saya. Dan mau bagaimana lagi, muntahlah kita. Sampai berkali-kali malah.
Kehangatan Semak dan Dedaunan
Tujuan kita adalah Pulau Semak Daun. Pulau kecil yang pamornya belum setinggi Pulau Tidung, Pulau Harapan, Pulau Pramuka. Namun cukup terkenal bagi yang ingin merasakan camping di pinggir pantai. Home by The Sea, lagu grup band Genesis tahun 1983, saya ubah menjadi Camp by The Sea. Wisata yang ditawarkan di Kep. Seribu tentu saja wisata air seperti snorkeling, penangkaran biota laut, dan diving. Kita memilih snorkeling dan dijanjikan akan mengunjung penangkaran hiu.
Kita akan dipandu oleh Pak Amin, travel agent kita. Dia akan menyediakan kapal menuju spot snorkeling, peralatan kemah, dan peralatan snorkeling. Dan karena Pulau Semak Daun tidak berpenghuni, bahkan air tawar pun tidak ada, maka kami singgah di Pulau Pramuka untuk melepas lelah sejenak. Inilah salah satu kemudahan berwisata ke Kep. Seribu. Banyak travel agent yang bisa dimanfaatkan.
[caption id="attachment_359437" align="aligncenter" width="490" caption="We Are"]
Karena perut sudah kosong akibat muntah, maka mengisi perut sebelum snorkeling menjadi hal wajib. Di Pulau Pramuka, suasananya layaknya perkampungan biasa. Ada masjid lengkap dengan pengajian, warung, sekolah, dan pedagang kaki lima pun banyak di sekitar dermaga.
Tiba di spot snorkeling cukup sore, jadi hari itu kita hanya mengisi dengan bersnorkeling ria. Kami asik berenang di sekitaran kapal sambil melihat ikan-ikan dan terumbu karang. Walaupun ikan-ikannya hanya sedikit dan terumbu karangnya tidak seberwarna di televisi atau di google image.
Seusainya, langsung kita menuju Pulau Semak Daun. Mendirikan tenda dan menyiapkan semusa fasilitas yang disediakan. Ada kompor dengan gas 3 kg, accu dan inverternya untuk lampu dan charge handphone, dan ikan yang rencananya akan kita bakar pada malam hari.
Pulau Semak Daun memang tidak berpenghuni. Namun disana sudah ada warung yang menyediakan makanan dan minuman. Semacam warung kopi. Tentu saja sebagai pengamanan juga karena si pemilik warung kenal dengan Pak Amin.
[caption id="attachment_359438" align="aligncenter" width="490" caption="Blue is For Sea"]
Menikmati senja, kemudian menikmati makan malam sederhana, terasa menghangatkan dan meluluhkan kelelahan perjalanan sekitar 6 jam lebih. Walau angin cukup besar dan membuat kita harus merelokasi tenda ke tempat tertutup, tak membuat kita berhenti tertawa sambil makan ikan bakar di bale-bale warung. Hingga larut malam, tidur untuk melanjutkan kegiatan esok hari adalah kewajiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H