Hal yang membingkai Kota Lasem dari dulu hingga kini adalah sejarah yang berkaitan erat orang-orang Tionghoa. Terutama soal akulturasi yang terbentuk dan konsisten hingga kini. Bingkai itu tak mungkin dibiarkan retak, karena bingkai itu yang menjaga Lasem tetap menjadi kota kecil namun damai. Bingkai itu pula yang mungkin nanti akan lebih menghidupkan Lasem baik dari segi wisata maupun yang lebih serius penelitian akademis tentang sejarah lintas zaman kota ini.
Hari itu masih dalam suasana Imlek di tahun ayam api. Napak tilas sisa-sisa kejayaan etnis Tionghoa di Lasem menjadi agenda yang tepat. Tiga dari empat kampung pecinan besar kota Lasem, menjadi tujuan saya menikmati kota Lasem. Empat pecinan yaitu Desa Soditan, Desa Karangturi, Desa Babagan, dan Desa Gedong Mulyo menjadi saksi perjalanan panjang orang-orang dari Tiongkok sana membangun Lasem menjadi kota yang bersejarah.
Gelombang besar kedatangan orang-orang Tionghoa ke Lasem hingga terbentuklah kampung-kampung pecinan terbagi menjadi beberapa masa dan dipicu beragam peristiwa. Setiap gelombang ditempatkan di satu persatu desa, kemudian membentuk komunitas yang semakin besar hingga terbentuk kampung pecinan. Ditandai pula dengan pembangunan klenteng di desa yang sudah dibangun, sebagai simbol agamis orang-orang Tionghoa yang mayoritas beragama Kong Hu Cu.
Tiongkok Kecil
Susur pecinan Lasem, yang dijuluki “Kota Tiongkok Kecil” bisa dimulai dari Desa Soditan yang terletak di sepanjang aliran Sungai Dasun yang juga bersejarah. Bangunan-bangunan tampak tua dan rapuh. Beberapa bagian rumah seperti kuda-kuda banyak yang sudah terpotong rapi. Menurut Pak Yon, tokoh masyarakat Lasem dan warga Desa Soditan, sebelum ada perhatian pada bangunan tua, banyak terjadi pencurian material bangunan yang memang harganya tinggi. Misalkan kayu-kayu tua yang kokoh hingga hari ini.
Mereka kawin mawin, kemudian berpindah dan membangun perkampungan di daerah Soditan dan Dasun. Di sana pula berdiri klenteng Cu An Kiong, yang dipercaya dibangun pada abad ke-15. Namun menurut buku “Lasem Kota Tiongkok Kecil” karya Munawir Aziz, prasasti di klenteng ini berangka 1838. Kisah inilah batu pertama jejak sejarah panjang relasi antara Jawa, Arab dan Tionghoa yang sampai sekarang terjaga dengan baik.
Menyusuri Sungai Dasun saya lanjutkan menuju utara hingga bertemu tanah sawah yang luas. Tanah itu menurut Pak Yon adalah galangan kapal yang besar dan melintas zaman, dari era Majapahit yang memang erat hubungannya dengan Lasem, hingga era kolonial Jepang.
Tak jauh keluar dari Desa Soditan menyebrangi Jalan Raya Pos (Jalan Deandels), saya menuju Desa Karangturi, buah perkembangan pecinan Lasem pada abad ke-17. Melewati lampu merah pertigaan Masjid Jami’ Lasem yang juga bersejarah bagi perkembangan Islam di sini. Pecinan di Desa Karangturi dikenal juga dengan pecinan Mahbong. Sejauh yang saya telusuri, rumah-rumah Tionghoa di sini masih terawat dan banyak yang masih dihuni dan beberapa diperbaiki.
Rumah yang paling mencolok yaitu rumah bertembok merah menyala yang tampak baru. Arsitekturnya memang kuno tapi terawat dengan baik. Itulah rumah Merah milik Pak Rudy Hartono yang menjadi basecamp pergerakan Lasem menuju Kota Pusaka Dunia yang diakui UNESCO. Di sini pula dibuka penginapan bagi yang ingin menikmati suasana pecinan kuno Lasem di Desa Karangturi.
Desa ini menjadi desa yang seolah menghadirkan miniatur harmoni Lasem. Di sini berdiri sebuah pesantren. Pesantren Kauman berdiri di sebuah rumah Tionghoa dan di kawasan pecinan. Santri dan warga Tionghoa berbaur dan tak jarang saling mengunjungi. Saling bercerita hingga bersama-sama memecahkan masalah-masalah sosial.