Lampu gedung belum padam. Asap sudah disemburkan di atas panggung. Lampu panggung mulai bergerak dinamis. Chaos pun terjadi di panggung. Pemain berjalan seperti zombie. Terhuyung hingga kadang terjatuh. Terjengkang. Beberapa berguling-guling. Gesture mereka menunjukkan kehancuran. Remuk. Terluka. Seperti nyaris mati atau mungkin sudah mati.
Kemudian masuk lagi mereka yang berlari cepat. Cemas. Ketakutan. Mereka tampak dikejar. Si pengejar kemudian muncul. Membawa kayu sebagai senjata. Mereka yang berkejaran dan yang lunglai membaur menjadikan adegan pembuka yang kacau seperti tema pertunjukan itu. Kekacauan perang.
Mereka tampaknya rakyat yang jadi korban dari negara yang berperang. Mereka bertingkah seperti monyet. Tak lama, seorang yang berbeda dari sekumpulan monyet muncul melintasi panggung. Dengan anak panah menancap, dia berseru dalam Bahasa Indonesia berlogat mandarin, “Ini panah Arjuna! Ini panah Arjuna!”
Satu lagi tokoh berbeda muncul ke tengah panggung. Mengangkang dan bersiap menerima anak panah besar yang diturunkan dari atas panggung ke arah perutnya. Adegan yang sama akan menjadi penutup pentas. Lampu gedung pun padam. Alur cerita baru dimulai.
***
Malam 24 – 25 September 2016, sebuah pentas teater yang membawa misi kolaborasi antar seniman di negara-negara Asia digelar di kota pelajar ini. Hiroshi Koike Bridge Project (HKBP), yang diinisiasi oleh seniman asal jepang Hiroshi Koike pada tahun 2012, tahun ini berpentas di Indonesia dengan lakon “Mahabharata Part 3. Kurusetra War”. Melihat kata part 3, tentu ada part 1 dan 2. Begitu juga mungkin part 4 dan seterusnya hingga part akhir.
Benar, HKBP mulai menggarap dan mementaskan teater kolaborasi seri Mahabharata pertama kali (“Mahabharata Part 1”) di Kamboja dan Vietnam pada 2013. “Mahabharata Part 2” diproduksi dan dipentaskan pada tahun 2015 di India. Kemudian, ada “Mahabharata Part 2.5” di Jepang, Filipina, China, dan Thailand. Rencana ke depan yaitu, “Mahabharata Part 4” di Thailand (2017), “Mahabharata The First Part” di Malaysia (2018), “Mahabharata The Later Part” di India (2019) dan puncaknya akan dipentaskan secara utuh keliling dunia.
HKBP melibatkan kelompok teater setiap negara di mana HKBP singgah dan menggelar pentas. Di Indonesia, HKBP berkolaborasi dengan Teater Garasi dan bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Selain berpentas dua hari di Jogjakarta, rombongan ini juga berpentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tanggal 28 – 29 September 2016.
Seribu Panah
Mahabharata memang berasal dari India. Tapi kisahnya melekat juga pada masyarakat Jawa dan Bali karena ajaran Hindu yang pernah berkembang di Indonesia. Dengan beragam penyesuaian hingga hari ini, maka Mahabharata yang kini dikenal dan dipentaskan, seringnya pada pementasan wayang, adalah Mahabharata dengan cita rasa Indonesia. Bahkan oleh beberapa seniman, Mahabharata diinterpretasikan kembali menjadi lebih out of India. Ambil contoh misalkan munculnya punokawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Bilung, Limbuk) di Jawa Tengah yang muncul pada adegan goro-goro. Di daerah lain punokawan bernama beda-beda.
Kurusetra War (Perang Kurusetra) yang menjadi judul pentas HKBP di Indonesia merupakan klimaks epos Mahbharata. Perang Kurusetra berarti perang di padang Kurusetra. Di Indonesia dikenal juga dengan Bharatayudha yang berarti perang keluarga Bharata. Keluarga Bharata yaitu Pandawa dan Kurawa. Dua saudara sepupu yang harus berperang demi sebuah negara yaitu Hastinapura atau Astina.
Segmen pembuka pentas menampilkan cuplikan-cuplikan pemicu Perang Kurusetra dan momen-momen penting sebelum perang. Kurawa dengan seratus saudaranya yang keras kepala tak mendengarkan nasihat dari penasihat-penasihat kerajaan seperti Bhisma dan Durna. Dengan sombongnya mereka tetap memilih berperang. Di pihak lain, Pandawa dengan tokoh sentralnya Arjuna, bimbang untuk pergi berperang. Mereka tak ingin terjadi pertumpahan darah antar saudara. Namun, Khrisna selaku penasihat Pandawa dan titisan dewa Wisnu, mendorong agar perang terjadi untuk memusnahkan kejahatan di muka bumi yang dicerminkan pada diri Kurawa.