Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Keindahan dalam Memori Bencana

9 Mei 2015   09:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:14 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_365038" align="aligncenter" width="504" caption="Gunung Anak Krakatau (Dok. Pribadi)"][/caption]

Mendengar namanya kita akan teringat salah satu bencana dahsyat yang pernah terjadi di Indonesia. Letusan gunung berapi yang terjadi pada tahun 1883 mencatatkan nama Gunung Krakatau dalam memori bencana-bencana alam dahsyat yang pernah dialami umat manusia. Sekarang, nama itu begitu menjual bagi para pecinta jalan-jalan.

Sebenarnya bukan Gunung Krakatau yang akan dikunjungi. Gunung Krakatau sendiri sudah menghilang seiring letusan dahsyat yang berkekuatan 30.000 kali bom Hirosima-Nagasaki itu. “Anak”-nya dan keindahan Selat Sunda lah yang sekarang menjadi daya tarik wisata.

Keinginan untuk menjajal keindahan dan sejarah yang disajikan pun menarikku dan teman-temanku berkunjung ke sana. Menempuh perjalanan dari Jakarta, kita menghabiskan waktu tiga hari dua malam (1-3/5) untuk menikmati rentetan keindahan di sana.

Setelah menyebrang dari Merak menuju Bakauheni kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Pelabuahan Kalianda, kita kemudian menggunakan kapal sewaan berupa kapal nelayan dengan kapasitas maksimal tiga puluh orang.

Tempat pertama yang kita datangi adalah Pulau Sebesi. Pulau ini memliki fasilitas akomodasi lengkap. Mulai dari resort mewah, penginapan sederhana, rumah penduduk, masjid, persewaan alat snorkeling, dan warung. Pulau inilah yang menjadi episentrum wisata Krakatau.

Wisata Air

Kapal mulai mengurangi kecepatan saat mendekati Pulau Sebuku Besar. Setelah guide snorkeling mendapatkan spot snorkeling yang oke, jangkar pun dilemparkan.

Byurr, satu persatu pelampung orange menghiasi laut yang berwarna tosca. Perairan sekitar Pulau Sebuku Besar adalah spot snorkeling yang umum dikunjungi. Riuh canda tawa dan action di depan kamera menjadi kegiatan yang menyenangkan disela-sela menikmati dunia bawah laut.

[caption id="attachment_365039" align="aligncenter" width="477" caption="Langit Biru Pulau Umang-umang (Dok. Pribadi)"]

143113710884941142
143113710884941142
[/caption]

Spot kedua adalah di sekitar Pulau Cemara. Di sini ikan dan terumbu karangnya lebih berwarna. Namun, arusnya lebih deras.

Awan sedikit tebal menutupi matahari yang akan berpulang. Kapal pun kembali berhenti di sekitar Pulau Umang-umang. Pasir putih nan lembut segera menyambut kaki saat mulai mencapai pantai. Pulau kecil ini pantainya begitu lembut dan indah untuk bermain bersama. Pulau ini seakan klimaks perjalanan hari itu.

Pulau tak berpenghuni ini adalah salah satu tempat konservasi terumbu karang. Balok-balok semen dengan pipa-pipa untuk mengaitkan terumbu karang yang masih bayi dipajang di sekitar pantai. Kita dapat juga berpartisipasi meletakkan terumbu karang ke laut.

Yang menarik adalah fakta pertumbuhan terumbu karang yang hanya satu sentimeter setahun. Sontak langsung ingat bahwa saat snorkeling kita hanya butuh lima detik untuk mematahkan sepuluh sentimeter terumbu karang karena terinjak. Fakta bahwa semakin banyak turis, ekosistem tempat wisata akan semakin rusak adalah benar.

Senja mulai habis di ufuk barat. Kapal sudah merapat lagi ke dermaga Pulau Sebesi. Malam itu, canda tawa mewarnai penginapan. Beberapa dari kita menikmati senandung ombang di bawah cahaya bulan yang hampir purnama. Hingga angin malam mengantar kantuk menghampiri kita.

Anak Krakatau

Belum lelap sang bulan tertidur. Belum juga sang matahari terbangun. Bermodal cahaya senter, kita berjalan menuju kapal. Apalagi selain untuk menuju Gunung Anak Krakatau yang harus ditempuh dua setengah jam perjalanan.

Gerimis datang. Aku dan ketiga temanku kebagian tempat yang tidak enak, yaitu di bagian depan kapal. Bagian yang paling terkena hujan. Alhasil terpal warung makan kami jadikan pelindung hujan.

Aku terlelap. Saat terbangun, matahari sudah terbit sempurna. Apa itu yang aku lihat di depan? Gunung yang begitu cantik, gagah, namun tampak angkuh dan berbahaya tampak mengerucut sempurna. Itulah Gunung Anak Krakatau. Begitu berwibawa di tengah gelombang laut.

Karena aktifitas gunung ini, asap belerang turun menutupi jalur pendakian. Atas saran ranger di sana, kita menunggu hingga asap agak menipis. Sambil sarapan, aku membayangkan nikmatnya tidur di tenda-tenda yang ada disana. Camping dengan view laut dan background hutan serta gunung.

[caption id="attachment_365040" align="aligncenter" width="420" caption="Muramnya Puncak Krakatau (Dok. Pribadi)"]

14311371872113999518
14311371872113999518
[/caption]

Gunung ini terletak di sebuah pulau dengan hutan dan pantai di kaki gunungnya. Pasirnya hitam dan memiliki banyak kandungan besi. Menurut orang di Pulau Sebesi, bebatuan di sini bagus jika dijadikan batu akik.

Asap mulai menipis. Kita mulai mendaki dengan melewati hutan kemudian tanah dan bebatuan saat menjelang puncak. Kita memang tidak boleh sampai di puncak karena berbahaya. Hanya dapat mendaki sekitar 200 meter.

Pemandangan dari atas sangat menakjubkan. Lautan luas mengelilingi pandangan mata. Pulau-pulau yang nampak kecil menghiasinya. Tak ketinggaln, sang puncak yang tampak buram oleh asap belerang tampak bagai tembok yang indah namun dapat sewaktu-waktu runtuh.

Aku merasa gunung ini sangat mencekam. Asap belerangnya saja sudah membuat kita sesak nafas jika berlama-lama. Walau terlihat tenang, ada perasaan menyeramkan dari sosok gunung yang “lahir” empat puluh tahun pasca letusan “ayahnya” ini. Saat waktunya tiba, gunung ini bisa saja membalikan segala keindahan alam yang menakjubkan menjadi kesedihan yang tak terbayangkan.

Kita seolah diingatkan untuk tidak hanya terlena pada keindahan, namun senantiasa mengingat bahwa ada hal yang bertolak belakang dari keindahan itu. Alam adalah keindahan dan alam juga adalah penghancur paling dahsyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun