Kain batik memang milik negeri ini dan diakui oleh dunia internasional. Keindahan dan keragaman motif serta warnanya menjadi ragam hias yang pasarnya sangat luas dibanding produk-produk kain budaya lainnya seperti songket dan ulos misalnya. Batik sekarang ini menjadi pakaian yang tidak lagi kuno. Cocok dipadu padankan dengan beragam produk fashion lain dan pantas dikenakan pada beragam event.
Tapi tidak salah juga jika mengatakan bahwa batik yang mayoritas kita kenal saat ini hanyalah sebatas barang dagangan. Beragam motif kain yang bisa dengan mudah didapatkan di pasaran, kita tahu tak lebih dari baju-baju biasa.
Namun, di samping batik-batik modern yang didominasi batik print untuk kebutuhan industri, lembar-lembar kain ini di masa dan tempat tertentu memiliki sisi lain yang menarik untuk digali kemudian diceritakan kembali. Batik yang lebih dari sekedar kain. Batik yang menjadi buku sejarah dan cerita kehidupan sosial orang-orang yang menjadi bagian dari “komposisi” keindahan batik tulis.
Lasem dengan segala ceritanya juga menjadikan batik sebagai “media” penyimpan sejarah dan cerita tentang kota kecil yang damai ini. Batik Lasem, menggugah minat saya untuk sekedar berkenalan dan mendengarkannya menceritakan hal-hal yang menarik. Tak hanya soal penjualan dan industrinya, tapi soal jejak tentang akulturasi etnis Jawa dan Tionghoa. Cerita itu terekam pada lembaran batik tulis Lasem. Saya dapat informasinya di kawasan pecinan, yang juga menjadi kampung wisata batik, yaitu Desa Babagan.
Sekar Kencana
Rumah bergaya Tionghoa dengan pintu ganda itu terletak di ujung salah satu gang di Desa Babagan. Terdapat papan dengan tulisan “Batik Tulis Sekar Kencana”. Di pagi yang cerah pada hari ketiga setelah imlek itu, saya sowan ke rumah batik yang legendaris. Legendaris karena pemilik batik ini adalah salah satu tokoh Tionghoa Lasem. Cita-cita dan tindakannya turut menumbuhkan semangat akulturasi. Sigit Witjaksana atau Njoo Tjoen Hien adalah pionir batik akulturasi Lasem. Batik bermotif dasar Jawa seperti latoan, kricak, dan sekar jagad namun diisi juga dengan aksara han atau aksara mandarin.
Saya melanjutkan berjalan ke arah belakang rumah. Seorang ibu sudah cukup berumur juga tampak sedang berbincang dengan ibu-ibu yang lain. Dialah Istri dari Pak Sigit yang atas izinnya saya boleh berkeliling ke “dapur” batik yang telah dimulai sejak tahun 1923 oleh orang tua Pak Sigit ini.
Aroma malam panas menguar di udara. Para pembatik sedang bersiap-siap memulai kerja hari itu. Ada yang menjerang air, menjemur kain mori dan batik-batik yang menunggu di-lorod, mempersiapkan tumpukan kain yang akan digarap, dan menyusun batik-batik yang sudah setengah jadi. Mereka tetap ramah menanyai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya sambil bekerja. Sesekali bercanda.
“Kae lho nggaya sek meh difoto,” ujar salah seorang saat saya sedang mengambil foto.
Usai berkeliling dan beranjak pulang, ternyata di meja belakang sudah ada suguhan teh hangat manis. Jadi, mau tak mau saya duduk sebentar. Tak lama kemudian Pak Sigit muncul dan ikut duduk bersama. Beliau kemudian bercerita tentang batik Lasem dari sudut pandang yang tak sekedar bisnis. Tak hanya batik, beliau juga berbagi kisah suka duka menjadi orang Tionghoa selama hidupnya.