Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Lampion Harmoni yang Tetap Menyala di Kota Lasem

23 Februari 2017   08:35 Diperbarui: 24 Februari 2017   00:00 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga kawasan pecinan Karangturi bersepeda di pagi hari. (Dok. Pribadi)

Tahun 1740 ketika terjadi peristiwa Geger Pecinan di Batavia, sebagian warga Tionghoa melarikan diri dan diterima di Lasem. Mungkin mereka memilih Lasem karena pecinan Lasem sudah terbentuk sebelumnya pada abad ke-15 sejak Laksamana Ceng Ho mendarat di Lasem.

Di era kolonial pula terjadi perang yang sampai saat ini mejadi peristiwa yang penting di Lasem. Perang Kuning, begitulah orang-orang Lasem menyebutnya. Perang antara warga Lasem melawan pemerintah kolonial Belanda. Masyarakat lintas etnis Lasem bersatu menghadapi Belanda di bawah pimpinan masing-masing, yaitu Raden Panji Margono (priayi Jawa), Oei Ing Kiat (orang Tionghoa), Kiai Baidlawi (pengasuh pesantren) dan dibantu pendekar kung fu Tan Kee Wie. Kisah itulah yang menjadi cerita turun temurun dan terus menghidupkan rasa persaudaraan orang-orang Lasem.

Cerita lain yang diceritakan Pak Yon yaitu soal bagaimana Lasem dapat menghindari peristiwa anti-China yang terjadi pada tahun 1998. Pembakaran, perusakan, dan penjarahan toko-toko milik orang Tionghoa terjadi dari Kudus, Pati, Juwana, hingga Rembang. Namun, Lasem bisa meredamnya. Pada masa-masa seperti itulah, tokoh-tokoh Lasem dari kalangan pesantren, tokoh masyarakat Jawa, dan tokoh Tionghoa bertemu dan mendeklarasikan “Lasem Milik Bersama”. Cairnya komunikasi antar masyarakat beragam etnis menjadi faktor utama yang mampu menjaga keharmonisan hidup masyarakat Lasem.

Suasana Kota

Hujan masih deras selepas Maghrib. Merasa kasihan pada saya karena belum sempat berkeliling sejak tiba di Lasem, Pak Yon pun mengeluarkan mobil lalu mengajak saya berkeliling dan mencari makan malam. Di bawah guyuran hujan deras, kami menuju ke arah utara Desa Soditan, kediaman Pak Yon. Menyusuri jalan di sepanjang Sungai Dasun yang juga bersejarah, bangunan-bangunan tua tampak berderet di sisi timur. Sebagian besar tampak tidak terawat. Tiba di sebuah tanah sawah luas yang gelap, di sana dulunya adalah galangan kapal besar di zaman Majapahit, Belanda, hingga Jepang.

Berbicara kedai kopi di Lasem bukan berbicara cafe-cafe dengan suasana artificial. Hanya warung keci, namun dampak sosialnya besar. (Dok. Pribadi)
Berbicara kedai kopi di Lasem bukan berbicara cafe-cafe dengan suasana artificial. Hanya warung keci, namun dampak sosialnya besar. (Dok. Pribadi)
“Di Lasem itu nggak ada tempat makan mewah, kalo ada paling bertahan sebentar. Walaupun orang-orang China Lasem itu miliarder semua, tapi ya mereka makannya tetep di warung emplek-emplekan di pinggir jalan. Berbaur aja, tanpa sekat.”

Kata-kata Pak Yon benar. Kami makan di warung lontong tahu kecil di pinggir jalan sekitar Desa Karangturi. Pelanggan warung yang sudah generasi ketiga ini datang dari beragam kalangan. Orang Tionghoa bermobil pun tak jarang yang singgah di sana. Kami bertemu dengan anggota DPRD teman Pak Yon yang sedang menikmati hangatnya lontong tahu berbumbu kacang dan tempe goreng renyah sebagai pelengkap. Hujan mulai reda, suasana damai dan adem terasa syahdu dinikmati bersama teh hangat.

Menikmati suasana Kota Lasem di pagi hari bisa dimulai dengan sejenak bersantai di warung kopi. Warung kopi di Lasem memang terkenal. Tak sekedar tempat ngopi, konon dari warung-warung kecil inilah, komunikasi warga beragam kalangan menjadi cair. Saya membuktikannya sendiri. Di warung kopi Jinghe, desa pecinan Karangturi yang juga terdapat Pesantren Kauman, seorang berpenampilan santri dengan santainya mengucapkan selamat hari raya Imlek pada salah satu pengunjung yang orang Tionghoa, kemudian minta di traktir kopi. Mereka lantas mengobrol dengan luwes.

Saya, hanya kagum dan menyeruput kopi sambil melihat pacar saya sedang nglelet. Ya, ngopi di Lasem memang kurang jika tanpa rokok. Budaya ngelelet adalah budaya membatik batang rokok menggunakan ampas kopi. Budaya ini lahir saat industri batik Lasem sedang lesu dan ngelelet menjadi media seni alternatif. Hembusan asap rokok yang telah dileleti kopi berbaur diudara bersama aura keakraban di warung kopi sederhana.

Napak tilas di Lasem bisa dilakukan dengan berkeliling pecinan yang menjadi ikon kota ini. Terdapat empat pecinan yang dibentuk dari empat zaman dan peristiwa sejarah yang berbeda. Keempatnya dipisahkan oleh Jalan Raya Pos dan Sungai Dasun. Desa Soditan, Desa Karangturi, Desa Babagan, dan Desa Gedong Mulyo. Menyusuri gang-gang kecil diapit tembok-tembok tua penuh cerita menjadi hal yang menyenangkan. Sesekali warga dengan senyum sahaja dan sepedanya melintas.

Kemudian, bisa dilanjutkan dengan menikmati keindahan tangan-tangan masyarakat Lasem lewat batiknya yang banyak terdapat di Kampung Batik Lasem, Desa Babagan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun