Kota ini begitu membekas di hati saya. Memberi kesan akan kententraman dan ketenangan. Memberi pelajaran akan sejarah, cerita, dan perjalanan panjang masyarakatnyanya. Memberi pesan untuk selalu menjaga kerukunan dan kebersamaan antar manusia, semua golongan. Serta memberi makna bagi orang seperti saya, generasi milenial kelas menengah ibu kota yang setiap pagi hidup berdesakan di jalanan hanya karena takut pada kata “terlambat” dan yang kesehariannya lebih banyak dihabiskan untuk membalas percakapan di grup Whatsapp.
Lasem, sebuah Kota Kecamatan bagian dari Kabupaten Rembang, telah menceritakan banyak hal di setiap sudut kotanya. Berjarak sekitar 120 Km dari pusatnya Jawa Tengah, Semarang, Lasem dapat ditempuh melalui jalur darat pantura selama kurang lebih 3 jam. Melewati Demak yang agamis, Kudus dengan aroma kreteknya, Pati dengan nasi gandulnya, Juwana dengan tambak bandengnya, dan hawa pesisir Rembang.
Terletak di sisi Jalan Raya Pos atau Jalan Deandels yang membentang hingga ujung Jawa Timur, Lasem hingga saat ini masih tampil apa adanya. Bangunan-bangunan tuanya belum cukup menarik pelintas jalur utara untuk sekedar singgah sebelum melintasi batas provinsi menuju Tuban. Namun, saya memutuskan menyusuri sedikit cerita di balik tembok-tembok rumah tua Lasem yang juga (akan) mendapat julukan Kota Pusaka (Heritage City) karena, secara hiprebolis, setiap jengkal tanah Lasem adalah situs pusaka.
Kota Cerita
Sore itu, hujan akhirnya turun membasahi Lasem yang sejak tengah hari saya tiba memang sudah mendung. Hujan deras menyertai obrolan saya dengan Pak Yon, salah satu orang yang “mengulik” dan “menghidupkan” Lasem. Pak Yon dan temannya Pak Toro, yang juga jadi teman saya mengobrol, sama-sama bercita-cita menjadikan Lasem muncul ke permukaan pariwisata Indonesia. Mereka menghidupkan Lasem dari sisi masyarakat akar rumputnya. Memberi sosialisasi, pendidikan, media lokal berupa radio amatir, dan beberapa kali menggagas acara, seperi Festival Lasem pada tahun 2013.
“Saya suka Lasem. Lasem panas, Lasem hujan, Lasem becek. Ya, saya tetep suka. Kadang saya jalan-jalan jam 11 malem masuk-masuk kampung menikmati suasana Lasem,” ujar Pak Yon.
Lasem hingga kini memang belum terbentuk sebagai kota wisata. Tidak ada hingar bingar layaknya Bali atau pusat-pusat perbelanjaan seperti Bandung. Lasem, bagi pengunjung yang tidak didampingi warga yang bisa bercerita, hanya akan menyuguhkan bangunan tua rumah-rumah milik etnis Tionghoa.
Lasem tumbuh dari sejarah dan transisi budaya yang panjang, yang dimulai dari zaman prasejarah, Kerjaan Hindu dan Buddha, Islam, kolonial Belanda, hingga kolonial Jepang. Dari peristiwa dan warisan-warisan itu, Lasem memiliki beberapa julukan seperti Kota Candu, Corong Candu, Kota Santri, Kota Batik, Kota Wayang Pesisir, Kota Garam, dan Kota Tiongkok Kecil.
“Lasem mengajarkan tentang akulturasi dan pergaulan antar etnis. Tiga kekuatan yang membangun Lasem itu Islam (Arab), Jawa santri, dan China,” tutur Pak Yon.
Hubungan baik antar etnis yang terjalin secara turun temurun hingga sekarang tak lepas dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Warga Lasem secara terbuka selalu bisa menerima kehadiran etnis Tionghoa yang dari masa ke masa sering didera diskriminasi rasial.