Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wayang Orang Bharata, Pentas Klasik yang Perlu Diberi Ruang

11 Desember 2016   10:43 Diperbarui: 11 Desember 2016   20:49 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan pembuka. Tarian kayon dan kestaria yang berusaha memikat hati sang putri. (Dok. Pribadi)

Prabu Baladewa dengan gagah perkasa bertamu ke kediaman Endang Nirasmoro di area pertapaan. Ayah Endang Nirasmoro menyambut baik permintaan lamaran Baladewa untuk Lesmana. Tapi tak lama, ketiga punakawan dengan muka cemang-cemong dan badan tak berbentuk datang. Tawa mulai pecah menyaksikan mereka berdialog dan mencela-cela ayah Endang Nirasmoro.

Punakawan dalam pewayangan adalah sosok rakyat jelata yang ceplas-ceplos. Merekalah rakyat yang dihadirkan oleh seniman wayang Jawa kuno untuk menyentuh hati nurani petinggi-petinggi kerajaan. Pejabat yang sibuk dengan urusan politik, ekonomi, dan ketahanan negara, namun sering lupa berdialog dengan hati nurani mempertanyakan mengapa mereka harus memimpin.

Wisanggeni (merah) berdiskusi dengan Ki Lurah Semar (berdiri di tengah) soal ide Punakawan di-Sungging. (Dok. Pribadi)
Wisanggeni (merah) berdiskusi dengan Ki Lurah Semar (berdiri di tengah) soal ide Punakawan di-Sungging. (Dok. Pribadi)
Endang Nirasmoro memberi syarat lamaran. Dia meminta diperlihatkan lima senjata sakti milik Baladewa, Kresna, Puntadewa, Bima dan Arjuna. Kedekatan kubu Baladewa pada kelima pemilik senjata mempermudah dan mempercepat proses peminjaman. Di Amarta, negeri para Pandawa, Baladewa sudah deal soal peminjaman saat ketiga punakawan tiba. Para punakawan pun kembali ke desa kecil mereka dan melaporkan kegagalan pada ayah mereka, Ki Lurah Semar.

Datanglah Wisanggeni yang diperintah oleh dewa untuk memenangkan pihak Punakawan menikahkan adik mereka Joko Pramandang. Ide gila yang sepanjang adegan membawa tawa pun dijalankan. Inilah bagian Punakawan Sungging. Sungging berarti dandan. Kelima punakawan yaitu Petruk, Gareng, Bagong, Togog dan mBilung pun didandani menyerupai Baladewa, Kresna, Puntadewa, Bima, Arjuna lengkap dengan senjata mereka. KW super tentunya.

Singkat cerita akhirnya kubu Punakawan berhasil menikahkan Joko Panandang dengan mengelabui ayah Endang Nirasmoro. Tak lama setelah pernikahan, barulah kubu Baladewa tiba melamar. Mereka terlambat dan kebingungan mengapa ada yang memiliki senjata dan rupa mirip mereka.

Tawa tak pecah lagi saat adegan puncak, bahkan antar pemain pun tak bisa menahan geli, saat ksatria asli bertemu muka dengan Punakawan yang di-sungging. Saling mengaku siapa yang benar. Saling melontarkan ejekan. Para ksatria tak habis pikir kenapa rupa mereka jadi tak jelas seperti itu. Pertarungan kecil yang terjadi kemudian dilerai oleh Dewa dan Wisanggeni. Ternyata, bantuan dewa sudah digariskan karena Joko Panandang sebenarnya adalah Raden Abimanyu dan Endang Nirasmoro adalah Siti Sundari. Pernikahan mereka sudah ditakdirkan semesta.

Tatap muka kestria palsu (kubu kiri) dan kesatria asli (kubu kanan). (Dok. Pribadi)
Tatap muka kestria palsu (kubu kiri) dan kesatria asli (kubu kanan). (Dok. Pribadi)
Pentas berakhir dengan tepuk tangan meriah dan rasa puas penonton malam itu. Sebuah pertunjukan klasik yang membawa kita memaknai kehidupan dengan tawa. Tak semua perlu ketegangan. Lebih penting ketenangan dan keriangan. Keriangan para Punakawan, rakyat jelata yang selalu berusaha mencapai apa yang diinginkan dijawab dewa lewat ide Wisanggeni.

Dalam sebuah adegan ada semacam protes dan pertanyaan soal keseriusan pemerintah menghidupkan kesenian klasik yang adiluhung seperti wayang. Bahkan, celetukan Punakawan yang jelata dan pragmatis menjadi warningdan perlu diintrospeksi. “Mending kita jual saja (kesenian wayang orang) pada Malaysia atau Singapura. Di sana pasti diuurusi.” Entah apa beban yang mereka panggul sebagai penjaga warisan budaya di tengah budaya populer dewasa ini, yang jelas pernyataan yang tentu saja bercanda itu perlu ditanggapi oleh pihak-pihak yang dituju.

Namun, malam itu, membawa WO Bharata dan deretan penampil di Sayap Klasik atas kecermatan Dewan Kesenian Jakarta dan Bekraf ke ajang FTJ 2016 di TIM perlu diapresiasi. Membawa ruang yang lebih luas bagi mereka yang bukan tidak mungkin terancam tenggelam.

Keterbukaan informasi dan media semoga bisa membuka serta warisan-warisan kesenian Indonesia yang kaya namun masih tersembunyi. Lebih pas jika targetnya adalah anak-anak bangsa sendiri dibandingkan penonton-penonton asing seperti Aoi. Semoga dengan saya menonton dan membayar tiket, ditambah sedikit menulis, saya ikut pula menjadi bagian penjaga kebudayaan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun