Cantik. Ah kata yang mengandung ironi bagi pemiliknya. Perempuan. Pembawa kebahagiaan sekaligus musibah. Ungkapan atau anggapan bahwa semua perempuan itu (ingin menjadi) cantik menjadikan ironi itu melekat pada kaum perempuan. Mungkin di era modern ini muncul istilah inner beauty, kecantikan dari dalam, dari hati, dari kecerdasan, dari tingkah laku. Kecantikan sesungguhnya perempuan. Tapi seberapa banyak lelaki yang melihat itu dibanding lelaki yang melihat cantiknya paras dan tubuh? Dengan mata birahi yang menelanjangi, dan diam-diam berharap ditemukannya kacamata tembus pandang yang dijual bebas dan murah.
Namun, sederet lika-liku kecantikan itu bagi beberapa orang bisa menjadi luka. Luka yang dalam. Perih. Traumatis. Luka yang timbul hanya karena dia seorang perempuan (cantik). Makhluk yang sering menjadi objek empuk diskriminasi. Berbeda dengan suku, agama, dan ras yang jenisnya ribuan dan tidak semua saling mendiskriminasi, gender hanya mengenal dua jenis. Maka, di saat yang satu mendiskriminasi maka hanya satunya lagi yang terdiskriminasi. Selalu lelaki terhadap perempuan. Makanya hanya ada komnas perlindungan perempuan, tidak ada untuk lelaki.
Kisah lika-liku luka mereka diangkat oleh kelompok Teater Poros dalam lakon berjudul “1 Lelaki 3 Perempuan dan Octopus” pada Sabtu, 26 November 2016. Pertunjukan yang diadakan di Teater Luwes kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) merupakan salah satu dari rangkaian pesta teater Jakarta yaitu Festival Teater Jakarta (FTJ) 2016. Dalam kategori “Sayap Utama” artinya Teater Poros adalah pemenang dari kompetisi teater di salah satu regional Jakarta. Dan Teater Poros yang sudah berdiri sejak tahun 1990 ini berasal dari region Jakarta Pusat.
Tegang
Koreografi pembuka pentas berdurasi 90 menit ini cukup untuk menanamkan kesan bahwa sepanjang pentas, ketegangan akan sering muncul. Ditambah properti panggung yang diisi oleh barang-barang rongsokan yang bagi sebagian besar penonton pasti sudah tidak ada lagi di rumahnya. Sutradara Acep S. Martin memberi catatan bahwa pentasnya kali ini memang mengeksplorasi benda-benda rongsokan dari Gelanggang Remaja Senen. Ada kloset bekas, lampu taman, kurungan besi, pintu, bak mandi bekas, hingga alat pembawa tabung gas atau galon air mineral.
Ruang pentas Teater Luwes disulap seperti gudang-gudang tak terpakai yang biasanya dipakai mangkal para PSK kota, markas preman atau gangster, dan mungkin rumah hantu. Ditambah pencahayaan yang didominasi warna kuning temaram memberi kesan suramnya cahaya dari bola lampu yang usang. Sesuai judulnya, pemerannya adalah empat orang. Satu lelaki dan tiga perempuan. Mereka masuk dan mematung di ruang pentas. Adegan didominasi oleh kisah berbentuk monolog dari keempat pemain. Satu persatu mereka bercerita tentang luka masing-masing.
Kebingungan digambarkan oleh si tokoh lelaki bernama Dramakala yang bangun dari mimpi buruk di atas pintu kemudian bercerita tentang masa kecil dan ibunya. Entah ia bingung mengapa ibunya rajin berdandan menor dan sering bersama lelaki. Ia pun tak tahu mengapa saat ayahnya yang cacat karena kecelakaan dan akhirnya mati, ibunya malah menghilang tanpa berduka. Jika tak semua orang baik, maka berlaku juga tak semua ibu baik. Yang ia tahu hanya bayangan masa kecil berbentuk Octopus atau gurita yang selalu menghantuinya. Sepanjang adegan tokoh ini tak lepas dari pintu itu.
Di bawah pintu, secara mengejutkan ternyata ada seorang perempuan terpenjara. Ia meringkuk di kerangkeng yang ukurannya tak lebih besar dari kandang anjing. Dialah perempuan korban kebiadaban majikannya. Merry namanya. Siksaan brutal pernah dialaminya karena kesalahan-kesalahan kecil. Disiram air panas, dipukuli, disetrika hingga kemaluannya ditusuk kayu. Mukanya cacat digambarkan oleh topeng yang dipakainya, jiwanya trauma. Trauma berat. Dengan penuh rintihan bercampur kemarahan dan dendam ia bercerita dan meminta tolong.
Tokoh perempuan yang selanjutnya menyambung kisah sedih tokoh-tokoh sebelumnya. Korban kemiskinan nelayan di negeri maritim yang sudah tak asing lagi. Dia gadis desa dengan ayah yang sabar. Mencintai laut dan hasilnya yang membuat hidupnya cukup untuk disebut sederhana. Namun ibunya tak sepaham. Kata sederhana diartikan miskin dan harus dihindari. Cekcok suami istri karena kemiskinan berakhir perceraian dan kematian sang suami. Sang gadis pun merantau ke kota dan menemukan nasib buruknya digagahi 220 lelaki selama 22 jam. Tragis.
Berakhir Tragis