Kisah tragis berlanjut saat cerita menuju klimaks. Adegan menjadi riuh. Tegang. Merry mendapat bantuan untuk menjalani operasi wajah dan berubah cantik. Merebut tahta Mawar si pelacur kelas atas. Mawar terhempas ke selokan pelacuran murahan karena ditipu dan mucikarinya diburu polisi. Dramakala terus mencari dan memantapkan kebenciannya pada perempuan-perempuan seperti ibunya. Terus berjalan. Terus dihantui octopus yang menjadi mimpi buruk halusinasinya yang membuat ia beribadah dengan jarum suntik.
Panggung yang tadinya tenang menjadi gaduh. Jeritan, umpatan, kemarahan, dan cacian keempat tokoh dengan ekspresi masing-masing seolah bersautan walaupun masih dalam bentuk monolog. Mereka berinteraksi dalam gerak dan adegan namun tetap tidak dalam kata-kata. Air disemprotkan ngawur, Dramakala ditarik oleh tambang kemudian diinjak di bawah pintu. Jeritan tetap bergema hingga lampu padam. Adegan yang menurut saya menjadi penyempurnaan dan pengukuhan kebencian Dramakala.
Pertunjukan yang menghibur sekaligus membuat penonton sering-sering menarik nafas. Saya cukup hanyut dalam cerita-cerita luka perempuan-perempuan yang sebenarnya terjadi di dunia nyata tapi cepat dilupakan atau tak muncul sama sekali. Mereka, perempuan-perempuan itu membawa beban berat pada gendernya. Pada kecantikan yang dimilikinya.
Pertunjukan ditutup dengan nafas lega penonton yang akhirnya keluar dari lubang hitam tragisnya kehidupan perempuan-perempuan korban kecantikan yang menjelma kutukan. Serpihan sisi kelam keindahan sosok bernama perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H