Kedua Bukit yang mengapit cekungan Pantai Kuta tampak indah. Di sisi Barat adalah Bukit Mandalika, dan di sisi timur adalah Bukit Merese. Karena Bukit Merese lebih dekat, saya memilih ke tempat yang berada di Pantai Tanjung Aan ini. Pantai Tanjung Aan terasa lebih sejuk karena berada di sekitar bukit. Airnya lebih tenang untuk nyebur. Pantai ini berjuluk pantai merica karena pasirnya yang besar-besar seperti biji merica. Dari atas Bukit Merese inilah, landscape Pantai Kuta terlihat indah. Menyatu dan membentang semaksimal pandangan mata. Bersih dan tentu instagramable. Bukit ini biasa dipakai menggembala kerbau. Dan di sana terdapat lonely tree. Pohon tunggal gersang yang jadi primadona spot foto. Di sini, mata dan lensa kamera dimanjakan.
Nelayan dan pasar ikan tentu jadi penopang ekonomi masyarakat selain bisnis pariwisata. Di Kuta sendiri, terdapat pasar nelayan yang saya yakin tidak masuk daftar kunjungan wisatawan. Terlihat kumuh. Siang itu sebelum pulang saya sempat berkunjung mencari tuna bakar yang ternyata malah banyak terdapat di sepanjang Jalan Raya Kuta.
Jika rencana pemerintah soal KEK terlaksana, tentu akan mengubah banyak sekali wajah Mandalika. Citra kawasan ini akan menjadi kawasan eksklusif dengan banyaknya resort dan hotel mewah, convention center bertaraf internasional, swalayan, taman-taman hijau privat, hingga lapangan golf. Bahkan kabarnya akan dibangun sirkuit formula satu juga.
Memang pembangunannya berorientasi pada kebudayaan lokal masyarakatnya, namun banyaknya modal dari investor-investor asing semakin akan meminggirkan peran penduduk lokal. Warga bisa jadi hanya akan menjadi pengrajin, namun harga jualnya berkali-kali lipat di tangan pengelola resort dan toko souvenir.
Segmen pengunjung pun perlahan akan bergeser. Dari yang tadinya anak-anak ABG sekitar dengan tujuan ber-selfie dengan kamera ponsel, wisatawan domestik pencari wisata murah, dan wisatawan asing yang mencari eksotisme tidak hanya dari alam tapi dari masyarakat lokal, menjadi wisatawan asing yang mencari kemewahan fasilitas di tengah kemewahan alam Mandalika.
Memang tak ada yang salah. Tujuan pembangunan adalah peningkatan ekonomi. Walaupun pembangunan selalu memunculkan pihak yang “diuntungkan” dan “dirugikan”. Asalkan kompensasi pihak yang diuntungkan pada yang dirugikan berlangsung seadil-adilnya, semua akan baik-baik saja. Bukan malah sebaliknya, teriakan pihak yang dirugikan tertutup gemerlap lampu-lampu kristal mahal, tawa renyah cadie-cadie golf, dan bising knalpot Rio Haryanto yang pasti berharap bisa berlaga di kandang sendiri suatu saat nanti. Sehingga semua hanya akan tampak baik-baik saja.
Jika filosofi pembangunannya adalah “menghidupkan” kembali pesona Sang Putri Mandlika, sebaiknya tidak setengah-setengah hanya dari pesona fisiknya saja. Keindahan hatinya untuk mengayomi semua masyarakat dengan mengorbankan nyawanya perlu diteladani juga sebagai spirit membangun dan mengelola anugerah keindahan alam Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H