Trunyan berasal dari kata Taru Menyan. Sebuah pohon berbau wangi yang konon aromanya sampai ke Jawa. Aroma yang mengundang empat putra keraton Dalem Solo untuk mencari sumber aroma tersebut. Hingga kemudian ditemukanlah desa ini, dan dibentuklah kerajaan. Untuk menghindar dari serangan musuh yang mungkin datang karena aroma wangi tersebut, diputuskan untuk menaruh jenazah warga di sekitar pohon. Dampaknya, wangi pohon tidak lagi keluar dari Desa Trunyan, namun bau bangkai mayat yang diletakkan begitu saja juga tidak tercium.
Itulah salah satu legenda awal mula tradisi kematian di sana. Terdapat tiga pemakaman di sana, yaitu Seme Wayah untuk orang-orang yang mati dengan wajar dan telah menikah, Seme Bantah untuk yang mati dan tubuhnya rusak seperti karena kecelakaan dan bunuh diri, serta Seme Muda untuk bayi dan yang belum pernah menikah. Saya dibawa menuju Seme Wayah dengan perahu dayung dari dermaga Trunyan. Cukup ngeri saat menginjakkan kaki di sana. Karena bayangan mayat yang entah sudah berapa lama tanpa pengawet akan tampak nyata.
[caption caption="Welcome to Makam Terunyan (Dok. Pribadi)"]
Kematian yang begitu terkenal tidak lantas membuat kehidupan Desa Trunyan juga terkenal. Sedikitnya pengunjung yang berangkat dari Desa Trunyan ditambah banyaknya calo perahu dari Desa Trunyan bisa membuat pengunjung kapok pergi ke sana. Tampak bapak-bapak tua renta dengan sampan ukuran satu orang mengemis di sekitar pintu masuk Seme Wayah. Saat kembali ke dermaga Desa Trunyan pun beberapa nenek mengerubungi saya dan mengemis cenderung memaksa.
Ongkos perahu yang mahal ternyata tidak banyak dinikmati penduduk desa. Hanya sekitar 15.000 tiap perahu yang masuk ke pemerintah desa. Cukup kecil mengingat sewa perahu berharga 600.000 rupiah untuk 7 orang. Cerahnya pariwisata kematian di Desa Trunyan ternyata belum bisa mencerahkan kehidupan warga sekitar. Potret yang begitu ironis seperti di kota-kota besar lain, ketika warga desa tak bisa berbuat banyak di tengah lumbung pariwisata Bali yang subur. Desa Trunyan bahkan tak banyak memetik hasil dari produk wisatanya sendiri yang mereka jaga sebagai warisan leluhur di tengah taman bumi (geopark) Gunung Batur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H