Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kehidupan dan Kematian di Desa Trunyan

26 Maret 2016   12:50 Diperbarui: 26 Maret 2016   14:36 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Trunyan berasal dari kata Taru Menyan. Sebuah pohon berbau wangi yang konon aromanya sampai ke Jawa. Aroma yang mengundang empat putra keraton Dalem Solo untuk mencari sumber aroma tersebut. Hingga kemudian ditemukanlah desa ini, dan dibentuklah kerajaan. Untuk menghindar dari serangan musuh yang mungkin datang karena aroma wangi tersebut, diputuskan untuk menaruh jenazah warga di sekitar pohon. Dampaknya, wangi pohon tidak lagi keluar dari Desa Trunyan, namun bau bangkai mayat yang diletakkan begitu saja juga tidak tercium.

Itulah salah satu legenda awal mula tradisi kematian di sana. Terdapat tiga pemakaman di sana, yaitu Seme Wayah untuk orang-orang yang mati dengan wajar dan telah menikah, Seme Bantah untuk yang mati dan tubuhnya rusak seperti karena kecelakaan dan bunuh diri, serta Seme Muda untuk bayi dan yang belum pernah menikah. Saya dibawa menuju Seme Wayah dengan perahu dayung dari dermaga Trunyan. Cukup ngeri saat menginjakkan kaki di sana. Karena bayangan mayat yang entah sudah berapa lama tanpa pengawet akan tampak nyata.

[caption caption="Welcome to Makam Terunyan (Dok. Pribadi)"]

[/caption]Baru di gapuranya saja, tengkorak sudah dipasang. Kemudian tampak tengkorak berjajar dan beberapa kurungan yang berisi mayat. Kurungan itu untuk melindungi mayat dari hewan buas. Di pemakaman ini hanya ada sebelas makam dengan kurungan bambu. Setiap ada mayat baru, maka makam yang paling lama harus dipindahkan. Barang-barang bekas yang katanya adalah barang milik si mayat, ditaruh begitu saja. Banyak koin berserakan. Ada pula perkakas rumah tangga dan kain-kain koyak terkubur di tanah. Semua berada di bawah rimbunnya pohon dengan batang besar. Itulah pohon Taru Menyan yang menetralisir bau mayat. Dan memang benar, sama sekali tidak bau di sana. Meski tetap saja terkesan kumuh.

Kematian yang begitu terkenal tidak lantas membuat kehidupan Desa Trunyan juga terkenal. Sedikitnya pengunjung yang berangkat dari Desa Trunyan ditambah banyaknya calo perahu dari Desa Trunyan bisa membuat pengunjung kapok pergi ke sana. Tampak bapak-bapak tua renta dengan sampan ukuran satu orang mengemis di sekitar pintu masuk Seme Wayah. Saat kembali ke dermaga Desa Trunyan pun beberapa nenek mengerubungi saya dan mengemis cenderung memaksa.

Ongkos perahu yang mahal ternyata tidak banyak dinikmati penduduk desa. Hanya sekitar 15.000 tiap perahu yang masuk ke pemerintah desa. Cukup kecil mengingat sewa perahu berharga 600.000 rupiah untuk 7 orang. Cerahnya pariwisata kematian di Desa Trunyan ternyata belum bisa mencerahkan kehidupan warga sekitar. Potret yang begitu ironis seperti di kota-kota besar lain, ketika warga desa tak bisa berbuat banyak di tengah lumbung pariwisata Bali yang subur. Desa Trunyan bahkan tak banyak memetik hasil dari produk wisatanya sendiri yang mereka jaga sebagai warisan leluhur di tengah taman bumi (geopark) Gunung Batur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun