Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Harmoni dan Kedamaian di Antara Kera  dan Pohon-pohon

25 Februari 2016   01:29 Diperbarui: 25 Februari 2016   01:38 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kera ekor panjang. Selepas bermain, si anak makan pisang ditemani si ayah. (Dok. Pribadi)"][/caption]

Sedang hangat di halaman depan segala jenis media, dari cetak hingga sosial (media), adalah soal penggusuran yang diperhalus menjadi relokasi yang terjadi di ibu kota. Kali ini di kawasan Kalijodo yang alasannya merupakan jalur hijau. Dengan relokasi ini, pemprov DKI bermaksud mengembalikan fungsinya asli kawasan tersebut.

Ah, apapun alasannya berita relokasi sudah bukan hal aneh lagi di negeri ini. Maklum negara berkembang. Keseimbangan tata ruang pun masih harus dikembangkan asalkan benar-benar berimbang tanpa korban dan kepentingan. Tapi sudahlah, sejenak tinggalkan Jakarta bersama bangunan dan bangunin yang melukis ironi. Lebih baik kita mencari harmoni di salah satu tempat di Pulau Bali. Tepatnya di Ubud.

Di Bali, umum memang melihat pura, sesaji, tari-tarian, pertunjukan musik, hingga bule-bule wanita berpakaian minim atau yang lelaki yang bertelanjang dada. Tak terkecuali di Ubud, daerah yang terkenal sebagai salah satu episentrum seni dan budaya Bali. Seni, budaya, dan agama itulah yang bersama-sama membentuk harmoni di sana. Atas dasar itu pula lah tata ruang kota dibuat. Salah satunya Secred Monkey Forest Centaury atau Mandala Suci Wenara Wana yang lebih dikenal dengan Monkey Forest.

Monkey Forest menjadi paru-paru kota sekaligus tempat wisata yang selalu masuk rekomendasi wisata untuk kawasan Ubud. Sebuah hutan rimbun di tengah kota dengan kera-kera yang tinggal disana, karya seni dari bahan alami. Letaknya berada di Jalan Monkey Forest. Salah satu jalan utama di Ubud dan tak jauh dari pusat keramaian di sana yaitu Pasar Umum Ubud.

[caption caption="Pura Dalem Agung tempat memuja Hyang WIdhi dalam Dewa Siwa. Letaknya di bagian tengah kawasan Monkey Forest. (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Monkey forest adalah sebuah ruang hijau kota yang dikelola dengan baik menjadi tempat wisata. Pangsa pasarnya tentu saja termasuk wisatawan asing. Selain tempat wisata biasa, dengan 115 spesies pohon yang berbeda dan dengan 600an populasi kera berjenis kera ekor panjang (Macaca fascicularis), Monkey Forest menjadi tempat penelitian baik tumbuhannya maupun perilaku kera yang memang membentuk koloni.

Pohon-pohon tinggi dengan beberapa akar gantung, udara yang bersih seolah tanpa muatan racun, dan jalan yang sedikit berlumut menambah kesan sejuk tempat ini. Di tengah hiruk pikuk perdagangan karya seni Ubud, boleh lah sejenak mencari ketenangan dan harmoni di sini. Bersantai di surganya oksigen sambil melihat kera-kera berlarian atau berkumpul seperti sedang bergosip.

Spiritual

Kehidupan spiritual orang-orang Bali memang menyeluruh di setiap sendi kehidupan. Di setiap sudut kotanya yang wangi akan dupa, pura dan segala pernak-pernik peribadatan berdiri dengan filosofi-filosofi simbolik. Begitu pula Monkey Forest ini. Tri Hita Karana adalah salah satu filosofi Hindu yang berarti “Tiga cara mencapai kesejahteraan lahir dan batin”. Inti untuk mencapai itu adalah hubungan harmoni manusia. Baik pada Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar. Filosofi itulah konsep yang mendasari kawasan ini.

Tak heran jika Monkey Forest juga menjadi tempat tempat ibadah dengan 3 Pura di dalamnya. Pura Dalem Agung, tempat pemujaan Hyang Widhi dalam Dewa Siwa, Pura Beji untuk Dewi Gangga, dan Pura Prajapati. Terbayang khusyuknya beribadah di tengah hutan kota yang yang asri dan damai. Namun, sayang sekali, di Bali orang beribadah juga menjadi objek foto oleh para wisatawan. Sebuah kuburan juga ada di sana. Kabarnya digunakan sebagai “ruang tunggu“ mayat sebelum dilakukan upacara ngaben setiap 5 tahun sekali.

Upacara lain di Money Forest juga melibatkan hewan dan tumbuhan. Ada Tumpek Kandang yang merupakan upacara yang diperuntukan bagi hewan-hewan peliharaan dan ternak, dan Tumpek Uduh sebagai upacara untuk penghormatan pada Sanghyang Sangkara yang menjaga kehidupan tumbuh-tumbuhan.

Tumbuhan besar yang membentuk kanopi memang mengurangi lelah kita saat berjalan mengelilingi kawasan seluas 10 hektar ini. Terik sinar matahari terhalang daun-daun rimbun yang sebagian gugur ke jalanan. Kasak-kusuk kera di balik hutan, di atas pohon, di jalan-jalan menjadi pemandangan yang menyenangkan. Mereka cukup jinak dan semoga sehat. Tak ada penyerangan jika kita tidak berbuat aneh-aneh pada meraka. Memberi makan diizinkan, namun harus membeli di depan pintu masuk. Sangat dilarang memberi makanan dan minuman kemasan.

[caption caption="Mantan pimpinan kera yang sudah habis masa jabatannya (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Ratusan kera disana membentuk kelompok masing-masing. Setidaknya lima kelompok kera terbagi berdasarkan wilayah. Terkadang perkelahian antar kelompok juga terjadi. Selain itu, tentu ada pemimpin diantara mereka. Menarik saat melihat seekor kera yang tampak lesu. Penjaga di sana bercerita, bahwa kera itu dulunya adalah pemimpin di sana. Namun, karena akhirnya kalah dari kera lain dalam pertarungan, kera itu lengser dari jabatannya dan ditinggal pendukungnya. Lucu sekali mendengar kehidupan politik kera-kera berekor panjang ini. Mungkinkah nasib si kera yang kalah akan seperti Bung Karno pasca Orde Lama? Terlalu berlebihan analoginya.

Sebuah kolam kecil tampak berkilau dengan uang receh tersebar di dasar kolam. Ternyata, kolam itu memiliki cerita bahwa siapa saja yang melempar uang sambil membelakangi kolam, maka permintaannya akan dikabulkan. Percaya? Ah, bukankah kepercayaan memang terbentuk karena kita memang tidak mengetahuinya. Cukup yakin dan percaya saja.

Monkey Forest, tempat dengan segala multifungsinya selain hanya sebagai ruang hijau kota. Memberi manfaat pada lingkungan, pada ekonomi warga sekitar, dan pada kehidupan spiritual sebagian masyarakat Bali di sana. Mungkin pertimbangan fungsi-fungsi dan manfaat pembangunan ruang terbuka hijau di tempat lain harus ditingkatkan. Apalagi pembangunan yang memang butuh pengorbanan. Tak hanya dana, tapi juga manusia yang terpinggirkan. Sehingga ruang hijau yang ada benar-benar dapat bermanfaat dan menuai pujian dari semua pihak.

 

Sumber Data :

Monkey Forest

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun