Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Lampung (1/2) – Kota dan Wajahnya

19 Mei 2015   17:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:49 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerah. Matahari menyeruak masuk lewat ventilasi rumah.  Mengetuk mata untuk kembali terjaga dan memulai aktifitas.  Pukul tujuh pagi, hari Senin dan setelah long weekend adalah saat yang paling tepat menyebut “I Hate Monday”. Aktifitas bersama sang waktu dan hasrat kesuksesan yang selalu tak bisa kompromi dimulai.

Aku dan Winda ikut terbangun karena waktu tinggal di rumah teman kita yang kita tumpangi sudah harus berakhir. Rasanya malas. Tapi memang harus. Jeje dan keluarganya, teman kita yang memberi tempat bermalam dan makan, harus mulai bekerja. Sebabnya, kita harus juga ikut memulai aktifitas. Untunglah bukan ikut bekerja, namun memulai lagi langkah kita mencari secarik keindahan di ujung selatan tanah Sumatera. Lampung.

Wajah Kota

Matahari bersinar cerah. Kita kembali “hidup” di jalanan setelah turun dari mobil Jeje yang mengantarkan kita sampai kota. Berada di Lampung rasanya seperti berada di Jawa. Orang-orang yang saya temui di jalan bisa berbahasa Jawa. Itu adalah efek Lampung yang merupakan tujuan transmigrasi. Bahkan sejak zaman kolonial, Lampung telah jadi tujuan pemerataan jumlah penduduk yang membludak di Jawa.

[caption id="attachment_366538" align="aligncenter" width="491" caption="Lampung (http://tinyurl.com/ny944zj)"][/caption]

Tak hanya Jawa, jika kita menyusuri Jalan Lingkar Timur ke dan dari Pelabuhan Bakauheni, kita akan mendapati rumah-rumah dengan sanggah atau pura di halaman rumah dan penjor (umbul-umbul) dengan janur kuning. Itu adalah ciri arsitektur rumah-rumah masyarakat Hindu di Bali.

Memang, wilayah Lampung selatan, dengan laut di sisi timur dan bukit disertai perkebunan jagung di sisi barat, terkenal dengan sebutan Kampung Bali. Ini juga merupakan dampak dari transmigrasi. Masyarakat Bali kemudian membentuk koloni lengkap dengan budaya dan agama.

Selain lahan yang tergarap menjadi produktif, kebijakan transmigrasi semakin memperkaya “rasa” saat kita berkunjung ke Lampung. Akulturasi yang terbentuk, adalah contoh bahwa Indonesia (pada zaman dulu) memang lahir dan tumbuh besar dari keragaman.

Tujuan utama kita sebenarnya adalah Way Kambas. Sebelum menuju kesana di ujung timur Provinsi Lampung, kita sempatkan mengunjungi salah satu landmark kota Bandar Lampung. Museum Lampung.

Wajah Museum

Bangunan berarsitektur khas Lampung menghentikan langkah jalan kaki pagi kita. Dari arah terminal Rajabasa, kearah timur sekitar enam ratus meter. Museum yang merupakan satu-satunya museum di Provinsi Lampung ini tampak kusam.

Sebuah bangunan utama museum, rumah adat Lampung, dan sebuah bola yang menyimbolkan Lampung sebagai tujuan transmigrasi, seolah tidak memancarkan aura positif penarik wisatawan atau orang untuk berkunjung. Begitu pula setelah masuk. Mungkin karena kita datang kepagian dan saat hari kerja maka museum itu sepi. Kita adalah pengunjung pertama pada hari itu. Saking sepinya aku sempat tidur di bangku yang disediakan di ruang pamer.

[caption id="attachment_366537" align="aligncenter" width="454" caption="Museum Lampung (http://tinyurl.com/lrheah4)"]

143203071429492364
143203071429492364
[/caption]

Isi museumnyanya adalah benda-benda sejarah dari berbagai zaman. Model timeline diterapkan dalam menyusun benda-benda yang dikelompokan menjadi beberapa jenis seperti biologika, etnografika, filologika, seni rupa, senjata, dan teknologi.

Sepi pasti ada penyebabnya. Aura yang yang tidak positif terlihat dari wujud dan isinya. Benda-benda kuno itu dikemas pula secara kuno. Benda dan teks penjelasan. Hanya itu. Bagi kita generasi Internet, tentu hal itu akan menjadi sangat membosankan. Bahkan, dengan duduk santai di rumah kita bisa mengumpulkan semua pejelasan tentang benda-benda yang ada di museum. Tak perlu repot mengunjungi museum.

Membandingkan museum yang dikelola negara dengan yang dikelola swasta memang tidak lagi apple-to-apple. Fasilitas dan kemasan museumnya terasa jauh berbeda. Museum yang dikelola negara yang biasanya hanya memungut biaya tak lebih dari lima ribu rupiah seolah ingin mengatakan “murah kok pengin yang bagus”. Padahal, seperti Museum Lampung yang hanya satu-satunya ini sudah selayaknya menjadi “anak emas”. Pembangunan pengalaman berkunjung adalah hal yang seharusnya paling diperhatikan dalam perawatan museum.

Benda-bendanya memang kuno, namun itu bukan berarti kemasannya harus ikut kuno juga. Melihat potret Museum Lampung, yang harusnya dapat menjadi jendela bagi sejarah Provinsi Lampung, aku jadi berfikir mungkin suatu saat ada museum yang memuseumkan museum-museum milik negara seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun