Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Timur Dalam Kontemporer dan Kontemplasi

23 Maret 2015   11:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:13 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427085693607370724

Pusat kesenian dan kebudayaan Jakarta, Taman Ismail Marzuki, sore itu (19/3) kembali dipenuhi pengunjung. Graha Bakti Budaya menjadi sasaran warga Jakarta yang ingin akan menyaksikan kembali pentas Indonesia Kaya beraksi. Trio kreatif, Butet Kertarajasa, Agus Noor, dan Djaduk Ferianto membuka pentas tahun ini dengan mengambil judul “Tabib Dari Timur”.

Sesuai judulnya, pentas tersebut menghadirkan sesuatu tentang wilayah Indonesia berzona waktu WIT, kali ini yaitu Papua. Wilayah paling timur Indonesia itu memang seolah di “anak tirikan” oleh kita semua. Sentralisasi pembangunan yang (hanya) terjadi di Pulau Jawa, menjadikan pulau berbentuk seperti burung Cendrawasih ini menjadi mutiara yang bukan hanya hitam, namun kelam. Kalau ibarat batu akik maka batu itu tidak tembus cahaya.

[caption id="attachment_357005" align="aligncenter" width="504" caption="Panggung (Dokpri)"][/caption]

“Di Papua semua tanaman tumbuh, yang tidak tumbuh hanya pembangunan.” Salah satu jokes dari Arie Kriting, salah satu comedian yang mengisi panggung itu terdengar begitu satir namun memang benar adanya.

Malam itu, Papua “dinaikan” ke pentas di tengah kota yang menjadi sisi terjauh wajah Papua, Jakarta. Ibu Kota, yang menjadi ibu tiri, yang begitu sombong, dengan orang-orang yang sombong, penuh foya-foya demi gaya hidup, dan yang meremehkan kehidupan terbelakang anak-anak muda Papua. Begitulah Trio GAM dan Arie Kriting berdialog membuka cerita dengan lawakan-lawakan mereka. Berlatar sebuah gubuk dan bendera merah putih yang berkibar setengah tiang. Menandakan kehidupan di tanah Papua sudah berpuluh-puluh tahun berkabung.

Kontemporer

Pertunjukan memang terasa sangat kontemporer. Hanya sedikit bersinggungan dengan produk-produk kesenian asli Papua. Tarian-tarian triadisional yang dikenal dengan kedekatan pada hutan, kedekatan pada alam, tidak dimunculkan disana. Hanya tarian bergaya hewan-hewan, yang dibawakan oleh Animal Pop Family, yang sedikit banyak menandakan bahwa Papua masih dekat dengan alam. Tanpa atribut seperti rumbai-rumbai injuk apalagi koteka. Tarian karya koreografer asal Papua Jecko Siompo, dikemas sangat modern. Menjauhkan citra bahwa Papua itu hanya daerah terbelakang.

Tim kreatif ingin mengangkat bahwa seniman Papua dapat juga berkarya tidak kalah hebatnya dari seniman-seniman yang serba berfasilitas di tanah Jawa. Seniman dari beragam jalur kesenian ternyata dapat juga merambah pasar kesenian modern. Walaupun tidak secara terang-terangan menampilkan kesenian tradisional Papua, namun citra ke-Papua-an tetap menjadi pijakan mereka dalam berkarya.

Menuntut

Jalan cerita yang diselingi jokes-jokes berbau kritik sosial akan kontrasnya kehidupan Papua –Indonesia Timur – dan Jawa (Jakarta) menjadi alur utama yang mengalirkan cerita. Kolaborasi pelawak Jawa, yang berperan sebagai pendatang yang mengusik kehidupan orang Papua demi keuntungan semata, berbaur dengan logat-logat orang-orang timur yang nadanya seperti marah-marah.

Diceritakan Arie sebagai orang Papua yang akhirnya terhasut temannya sendiri. Dia hijrah ke Jakarta dan pada akhirnya menjalani kehidupan yang tidak lebih menyenangkan dari kehidupannya di Papua. Dengan batu sakti peninggalan nenek moyangnya, Arie kemudian “dipekerjakan” untuk menjadi ahli pengobatan yang dapat mengatasi berbagai masalah. Dari kesehatan sampai kehidupan rumah tangga.

Walupun, akhirnya Arie menjadi orang terkenal di Jakarta. Namun di balik semua itu, setiap langkah kehidupan Arie penuh dengan aturan. Aturan-aturan yang seolah menerbangkannya, namun sebenarnya ada siasat licik yang demi keuntungan pribadi si pembuat aturan.

Pesan yang begitu jelas dan relevan dengan kehidupan orang-orang timur dari dulu hingga sekarang. Bahwa mereka hanya menjadi objek. Objek penipuan, objek praktek politik yang penuh siasat, hingga objek pengerukan keuntungan. Mereka seolah didiamkan tetap begitu, agar tidak melawan saat tanah-tanah dan mata air mereka diperkosa dan hanya meninggalkan air mata. Air mata kebingungan tentang bagaimana mereka harus melawan, pada siapa mereka harus bertanya, bahkan kebingungan tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Malam itu ditutup dengan tuntutan seorang Arie yang mewakili kebanyakan rakyat timur. Tuntutan akan perhatian bukan sekedar prihatinan. Tuntutan pemberantasan kebodohan, bukan objek pembodohan. Tuntutan akan ruang gerak bukan raung yang tak pernah berhenti.

Mereka adalah mutiara hitam, bagian dari Indonesia, yang berhak mendapatkan kesetaraan dan menikmati kebesaran nama Indonesia. Semua pihak harus hadir dalam menjaga mereka. Jika tidak, lambat laun judul lagu nasional Dari Sabang Sampai Merauke harus diubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun