Mohon tunggu...
Pradesa Emka
Pradesa Emka Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mensyukuri kehidupan adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Belajarlah bersyukur.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mengayuh Mimpi #3

1 September 2013   10:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:32 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kini kita berjalan ke arah timur di ruas jalan nasional. Kayuhanku semakin mantap dengan kondisi aspal yang halus dan tanpa polisi tidur. Setelah melewati Pengadilan Negeri di kanan jalan, aku injak pedal rem sedikit demi sedikit. Banyak mikrobus dan angkutan pedesaan keluar dari terminal. Beberapa orang berlarian kearah mikrobus berwarna biru gelap. “Barang ayu! Barang Ayu!”

Beberapa penjual gorengan dengan gerobaknya masing-masing sedang sibuk melayani pembeli. Di kota ini, sarapan dengan gorengan merupakan sebuah tradisi. Bahkan sudah dianggap sebagai kebanggaan oleh beberapa orang, seperti aku. Kombinasi tepung, bumbu rempah, cabe rawit dan kondisi gorengan yang masih hangat, sangat nyaman di perut. Apalagi jika dimakan dengan ketupat, lontong maupun meniran yang juga masih hangat. Sungguh!

Dan begitu pula dengan sebuah taman berbentuk lingkaran di tengah persimpangan jalan ini. Dengan patung berwarna tembaga dan beberapa jenis bunga yang menghiasinya, taman ini seperti taman di surga. Belum lagi ditambah dengan suasana pagi yang cerah seperti ini, kita semua pasti setuju. Inilah taman surga.

Melewati persimpangan ini rasanya seperti melewati persimpangan yang sering aku lihat di televisi tetangga sebelah. Sebuah persimpangan yang di tengahnya terdapat kolam yang indah, yang sering ditayangkan di acara berita-berita. Persimpangan tanpa lampu merah hijau tetapi gerakan setiap kendaraan yang melewatinya sangat harmonis. Berputar alami dan sekali lagi, sangat harmonis.

Kita masih berjalan ke arah timur. “Nanti pulangnya nunggu sebentar ya At. Bawa uang buat sangu”, kata Mama sambil memasukkan beberapa bungkus candil ke kantong plastik kecil. “Iya Ma”, jawabku singkat. Aku kembali injak pedal rem perlahan, kita akan belok kiri di persimpangan depan. Beberapa orang tertidur di sebuah pangkalan ojek, dua orang tampak menghisap rokok sambil matanya menunggu penumpang turun dari bus. Mereka seakan telah sepakat dengan sebuah perjanjian, siapa cepat dia dapat.

Becak tanpa nama ini telah berjalan menghadap utara. Kini hanya sudut mata yang bisa menikmati suasana langit pagi. Karena ruas jalan ini tidak sehalus jalan nasional yang tadi kita lewati. Beberapa lubang tampak mengancam siapa pun yang lewat. Dan aku perhatikan selama dua tahun kebelakang, perbaikan ruas jalan ini hanya tambal sulam. Beberapa lubang ditambal dan disulam, tetapi muncul lagi beberapa lubang yang lain.

Mungkin karena banyak pabrik dan gudang di sepanjang ruas jalan ini, sehingga banyak kendaraan berat yang menjadi tanggungan si Aspal. Dan kerusakan merupakan sebuah hal biasa yang timbul setiap harinya. Dan pemerintah kota sepertinya tidak memiliki anggaran untuk memperbaiki, atau mungkin pabrik-pabrik ini tidak bayar pajak? Hahahaha, entahlah.
Setelah melewati persimpangan di ujung ruas jalan ini, kita mulai memasuki sebuah komplek pertokoan dan pasar burung. Di kanan kiri jalan, cukup rapat oleh pertokoan dan area parkir kendaraan. Beberapa penjual pakan burung berjejer di tepi jalan. Saat memasuki komplek pasar burung, pedal rem kembali aku injak perlahan. Beberapa mobil dipaksa diparkir di pinggir jalan. Angkutan pedesaan pun tak mau saling mengalah untuk mendapatkan lebih banyak penumpang. Dan selalu seperti ini, arus lalu lintas selalu berjalan tersendat, bahkan terkadang berhenti sesaat. Mungkin akan lebih baik jika pasar burung ini dipindah ke lokasi dengan ruas jalan yang lebih besar.

Setelah melewati komplek pasar burung ini, kita memasuki komplek kaki lima di dekat persimpangan besar. Beberapa lapak mulai digelar. Tenda-tenda jualan mulai didirikan. Beberapa kios tempel juga mulai dibuka oleh pemiliknya. Kios tempel ini merupakan sebuah kios separuh permanen yang menempel di sebuah tebok. Entah pemiliknya menyewa dari pemilik tembok, menutup sungai kecil dan berdagang diatasnya, atau memakan separuh trotoar milik pejalan kaki. Begitu pun dengan lapak yang telah banyak digelar. Mereka mengusahakan rejeki dengan menutup sebagian trotoar dengan menjual barang dagangan.

Lampu hijau telah menyala. Aku injak sekuat tenaga pedal ini hingga tanganku mengepal di kemudi becak tanpa nama. Sesekali tubuhku terangkat saat mengayuh. Sampai disini, tenaga hasil pengolahan satu bungkus bubur candil, satu meniran dan dua bakwan sepertinya telah menipis. Nafas mulai tersengal. Mulutku mulai menghirup dan menghembus nafas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun