Mungkin posting ini agak terlambat kalau melihat waktu sebab hari sudah menjelang malam, tapi ide untuk menulis baru muncul. Apalagi cukup mengasyikkan membaca sejumlah berita yang muncul sejak upacara peringatan detik-detik proklamasi berlangsung di Istana Merdeka. Mulai dari ada anggota Paskibraka yang terkena pelecehan seksual, tudingan bahwa Pak Beye sudah mulai narsis sampai masalah lagu gubahan pribadi. Pagi ini saya menyaksikan upacara tersebut lewat layar kaca. Sudah lama tidak menyaksikan TVRI, jadi saya putuskan untuk setidaknya menghargai stasiun TV tersebut. Ada perasaan senang sebab yang menjadi Danup (Komandan Upacara) adalah Kol Laut (P) Iwan Isnuarto, Komandan Pangkalan Laut (Danlanal) Batam. Kebetulan saya pernah mendapat kehormatan bekerja sama dengan beliau. Hanya saja heran bagaimana bisa TVRI kurang tepat menuliskan nama sang Komandan. Saya jadi terkenang kapan terakhir saya menjadi bagian dari sebuah upacara bendera. Tahun itu tahun 1997 saat mengikuti P4 (saya angkatan terakhir yang mendapatnya) di kampus tercinta. Sejak itu upacara yang saya ikuti adalah upacara-upacara militer, dan itu pun karena saat itu saya masih jadi kuli tinta media asing. Yang pasti saking seringnya sampai bisa mengikuti nada Andhika Bhayangkari. Sambil menyaksikan upacara berlangsung, ada kata-kata dari penyiar yang intinya menghimbau bahwa merayakan kemerdekaan jangan hanya terbatas pada seremonial belaka, yaitu hanya upacara bendera setiap tanggal 17 Agustus. Kata-kata itu sepertinya sudah seringkali diucapkan, tapi apa kita sungguh-sungguh paham artinya apa? Apakah saya penggemar upacara? Jujur, jelas bukan. Masa-masa sekolah yang mengharuskan upacara bendera setiap hari Senin selalu dipenuhi oleh keluhan kepanasan, pegel, ngantuk dan malas. Lagu lama, intinya. Hanya saja, meski dulu sepertinya saya tidak pedulian, ternyata saya masih bisa menyanyikan lagi-lagu yang dimainkan dalam rangkaian upacara (kecuali lagu gubahan Pak Beye... Sorry sir...). Saya tersenyum sendiri, dan entah kenapa ada rasa sedih dalam hati. Membangun bangsa membutuhkan rasa cinta dan nasionalisme pada bangsa. Okay, mungkin terdengar bak jargon, tapi memang begitulah kenyataannya. Rasa cinta bangsa dan nasionalisme yang makin lama seakan makin kecil membuat negara kita makin ajaib saja. Saya seringkali takjub dengan tingkah laku pejabat atau politisi, terutama setelah berada di posisi yang memiliki porsi kekuasaan yang cukup signifikan. Saya kira kita semua cukup familiar dengan berbagai keputusan yang cenderung merugikan, atau kerja sama dengan negara lain yang, entah apa yang terjadi pada saat proses negosiasi, cenderung hanya menguntungkan pihak yang lain. Membaca harian Kompas beberapa waktu yang lalu yang membahas kemerdekaan, nasionalisme dan sumber daya alam membuat saya merinding sebab kita seakan tidak memiliki blue print yang jelas akan masa depan SDA kita. Sell, sell, sell! Menjual memang lebih mudah dan langsung dapat uang dibandingkan harus mengembangkan sendiri. Maklum, hasilnya baru terasa nanti, bukan saat menjabat. Mungkin penjelasan tadi kurang membumi. Oke, bagaimana kalau kita bicarakan soal lalu lintas? Jakarta disebut sebagai kota terbaik untuk melatih keesabaran, dan itu semua berkat tingkat kemacetannya yang makin hari makin menggila. Ada yang mengatakan bahwa perilaku pengguna jalan merupakan cerminan pribadi bangsa. Jika itu benar, saya bisa gunakan sejumlah kata: tidak pedulian, egois, kurang ajar, seenaknya, sembarangan, tidak tahu aturan... Wah, kayaknya kebanyakan, jadi saya berhenti saja. Rasa saling menghargai di jalan raya seakan lenyap bak debu yang tertiup angin kencang. Sebagai pengguna setia jalanan di kota ini saya paham betul rasanya tidak dihargai. Menegur orang itu sesuatu yang melelahkan, jadi sejak lama saya putuskan untuk melihat diri sendiri dan bertanya apa yang telah saya lakukan untuk turut membangun bangsa? Apa wujud dari nasionalisme saya? Saya membuang sampah pada tempatnya. Kalau tidak menemukan tempat yang benar, saya simpan dulu untuk kemudian saya buang. Saya berusaha mematuhi aturan lalu lintas dan menghormati pengendara lain, karena saya tidak suka diganggu orang, maka saya pun berusaha untuk tidak mengganggu orang lain. Saya berusaha untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Sebagai instruktur bahasa Inggris di militer, saya bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas bahasa Inggris perwira dari salah satu angkatan. Intensitas kerja sama antara TNI dan militer asing semakin lama semakin meningkat di era globalisasi ini. Harapan saya adalah membantu mereka menjalin hubungan yang baik dan saling menguntungkan demi kepentingan nasional kita. Jika saya diminta untuk menerjemahkan, saya pastikan bahwa saya sudah menyampaikannya dalam bahasa yang tepat, baik dan efektif. Nasionalisme saya memang tidak terkait dengan angkat senjata, kekuasaan atau membuat kebijakan di tingkat apa pun. Nasionalisme saya adalah bekerja dengan baik, menghargai sesama, menjaga kepercayaan yang telah diberikan kepada saya dan berusaha menjadi manusia yang baik. Tidak perlu kita lirik orang lain. Cukup kita bercermin pada diri sendiri. Pertanyaan "Don't ask what your country has done for you, but ask what you've done for your country" tidaklah serumit yang kita kira. Mari mulai dari hal kecil di sekitar. Mari berusaha yang terbaik dalam bidang kerja masing-masing. Salam merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H