Suara takbir bersahutan dari masjid yang tak jauh dari sudut kota, keriuhan para pengunjung bolak balik menyusuri ramainya suasana, kendaraan roda dua dan empat terparkir rapi di samping trotoar jalan menghiasai manisnya suasana yang terus beranjak malam dan suara takbir sayup-sayup turut menghilang ditelan dinginnya malam.
Kegelisahan sang Faqir bergelayut dalam pikirannya dan menusuk hati hingga merenungkan nasib yang terlintas di kepala, bagaimana generasi yang akan datang menantang zaman yang terus berubah bagaikan panah yang melesat dari busurnya, entah apa yang harus dilakukan.Â
Mungkin renungan pemikiran ini bisa saja ada di pikiran banyak orang, bagi mereka yang peduli ini jadi bahan mencari jawaban dan bagi mereka yang acuh mungkin membiarkannya, itulah pandangan Manusia zaman sekarang, daripada yang so peduli akan lebih banyak yang acuh tanpa komentar.Â
Keramaian yang disaksikan ada dan terjadi disaat malam hari raya idul adha, disudut sebelah sana tak jauh dari keramaian Sura Takbiran berkumandang, tapi keramaian ada sudut taman kota bukan masjid langgar dan musholla.Â
Sungguh ironi, bagaimana nasib generasi ini kedepannya?Â
Ada gambaran masa lalu dimana keriuhan malam hari raya adanya di masjid, langgar dan musholla, mereka memenuhinya sambil bertakbir dan bersilaturahmi ria, membicarakan apa yang akan dilakukan esok hari sambil membicarakan hal lainnya, keadaan ini terjadi di masjid, langgar dan musholla.Â
Hari ini begitu beda dan bagaimana menyelamatkannya lalu siapa yang peduli kepadanya?Â
Terdapat beberapa tips untuk menyelamatkannya:Â
1. Pandanglah generasi muda sebagai pewaris kita, bagi orang tua ini sangat penting, kelangsungan keluarga ada pada pewarisnya. Bagi sebagian orang tua ada banyak yang menginginkan anak-anaknya dapat melanjutkan kebaikan yang telah dirintisnya, maka dalam pandangan Islam kondisi demikian sebagai Hifdzul Nasab.Â